Baru-baru ini ramai menjadi perbincangan publik saat Krisdayanti anggota DPR RI dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan membuka nominal gajinya. Dalam sebulan dia mendapat gaji pokok Rp16 juta, tunjangan Rp59 juta, dana aspirasi Rp450 juta lima kali dalam setahun . Sementara untuk uang kunjungan dapil, anggota dewan bisa mendapat sekitar Rp140 juta delapan kali dalam setahun.
Hak-hak anggota dewan dilegitimasi dalam surat Sekjen DPR No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan surat Kementerian Keuangan No S-520/MK.02/2015.
Dr. Fauzi Said M.Si, pengamat politik dan dosen Universitas Brawijaya mengatakan, selama ini publik memang tidak memiliki akses dan informasi terkait gaji dan tunjangan anggota dewan.
“Selama ini rakyat tidak memiliki informasi ke situ, meskipun di website sebetulnya ada namun memang tidak pernah dibuka secara inklusif dan secara detail terkait itu,” kata Dr. Fauzi pada program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (22/9/2021).
Menurut Fauzi, sebenarnya ada dua sisi yang bisa kita kupas dalam polemik nominal gaji dan tunjangan anggota DPR RI.
Yang pertama adalah hak para anggota dewan dan besaran jumlahnya, serta tugas dan fungsi anggota dewan dengan dana sebesar itu apakah sudah berjalan dengan semestinya.
“Sebenarnya rakyat tidak perlu terlalu kaget dengan hak-hak itu, namun yang perlu diawasi adalah kinerjanya,” ujar Dr.Fauzi yang menormalisasi besaran anggaran anggota dewan.
Dr. Fauzi juga menambahkan catatan bahwa rakyat harus mengawasi bagaimana tugas dan tupoksi anggota dewan itu dapat mereka jalankan secara maksimal.
Meskipun dalam fakta, tidak banyak rakyat yang memiliki akses untuk menyampaikan aspirasi ketika terdapat kinerja dewan yang kurang dan permasalahan disekitar lingkungan sosialnya.
Kagetnya publik saat mengetahui besaran gaji anggota dewan adalah hal yang wajar menurut Dr.Fauzi. Karena publik melihat dari satu sisi yang melekat yaitu hak anggota dewan.
“Ketika masyarakat tahu berapa gaji dan tunjangannya mereka akan ‘wih..’ Namun dibalik itu semua ada yang perlu dikontrol yaitu tugas dan fungsinya apakah sudah maksimal,” katanya.
Saat ditanya mengenai suara dewan di saat pandemi jarang nampak. Dr. Fauzi berpendapat bahwa, justru pada momen seperti itu publik harus lebih menyoroti para anggota dewan yang fungsinya tidak maksimal.
“Untuk itu anggota dewan harus mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadinya, hal seperti ini yang harusnya lebih bisa ditekan oleh rakyat, karena mereka difasilitasi dan juga ada anggaran dana aspirasi,” imbuh Dr. Fauzi.
Dr. Fauzi mengatakan sangat timpang antara tunjangan, gaji dan pemenuhan kewajiban anggotan dewan dilihat dari kinerjanya selama ini.
Serta sedikit memberikan contoh tentang kajiannya saat membantu konflik polemik tanah di Batam antara warga dan pengusaha yang terjadi selama 20 tahun.
Dr. Fauzi menilai tidak adanya kontribusi dari anggota dewan dalam menyelesaikan masalah-masalah di lingkungan sosial selama itu.
Ia juga menyinggung tentang partai politik di Indonesia yang menjadi kendaraan bagi para anggota dewan dalam menuju kursi jabatan. Menurutnya kondisi ini menjadi dilematis
“Karena jika negara bagus berarti partai politiknya juga harus bagus karena negara kita adalah demokrasi, sedangkan partai juga membutuhkan dana untuk menjalankan itu semua.”
Kata Dr.Fauzi saat ditanya tentang kebenaran para anggota dewan yang harus setor sekian persen ke parpol yang sudah mengusungnya.
Untuk mengukur kinerja dan pemberian tunjangan gaji yang telah diberikan, Dr.Fauzi menyarankan untuk dibukanya akses secara detail terkait jumlah gaji dan besaran tunjangan.
Namun hal itu harus diimbangi dengan pelaporan atas capaian kinerja merka yang harus di publish. Sehingga publik nantinya bisa mengontrol kinerja anggota dewan.
“Respon publik yang menilai tidak wajar atas gajinya juga merupakan salah para anggota dewan sendiri yang tidak pernah terbuka atas gaji yang diperoleh dan capaian tugas mereka,” kata Dr. Fauzi.
Sekali lagi ia menilai bahwa gaji dan tunjangan anggota dewan dengan nominal itu adalah hal wajar, ia mengatakan semua juga ada mekanisme dan peraturan tersendiri.
Ia juga memberikan catatan bahwa “nominal itu menjadi wajar atas dasar kinerja yang maksimal, jika secara kinerja berakhir minimal maka nominal sebesar itu sangat tidak wajar,” imbuh Dr. Fauzi sebagai catatan penutup.(wld/iss)