Sabtu, 23 November 2024

Fenomena Aneh Pasien dengan CT Value 1,8 di Surabaya, Begini Penjelasan RSLI

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Sejumlah pekerja migran saat dirujuk ke RSLI Surabaya dari Asrama Haji karena dinyatakan positif Covid-19 beberapa waktu lalu. Foto: Istimewa

Sejumlah berita mengabarkan, Rumah Sakit Lapangan Indrapura (RSLI) Surabaya menemukan fenomena aneh pasien Covid-19 yang merupakan pekerja migran Indonesia (PMI) dengan hasil cycle threshold (CT) value sangat rendah, yakni mencapai angka 1,8. Padahal, sebagaimana yang ditetapkan Kemenkes dalam surat edarannya, CT Value yang nilainya di bawah 25 itu sudah sangat rendah dan perlu diperiksa kemungkinan varian virus baru dengan metode whole genome sequencing (WGS).

Perlu diketahui, CT Value adalah nilai yang muncul dari hasil pemeriksaan tes polymerase chain reaction (PCR) untuk membantu menentukan status seseorang apakah positif atau negatif Covid-19. CT Value juga menunjukkan kemungkinan jumlah virus Corona di dalam tubuh seseorang, sehingga bisa diketahui risiko pasien Covid-19 berkaitan komplikasi atau gejala berat yang akan dialami akibat Covid-19.

Dokter Fauqa Arinil Aulia Penanggung Jawab Pelayanan RSLI Surabaya menjelaskan, sebenarnya hasil CT Value sangat rendah pada tujuh pasien PMI asal Madura dan Jember yang mencapai 1,8 itu karena metode tes PCR yang mereka jalani berbeda. Acuan prosedur penanganan pasien yang termuat dalam SE Kemenkes adalah hasil tes dengan metode reverse transcription atau kerap disingkat RT-PCR. Sementara pasien PMI dengan CT Value 1,8 itu menjalani tes dengan metode insulated isothermal PCR (ii-PCR).

“Untuk pasien dengan CT Value 1,8, itu sebetulnya pasien yang pemeriksaannya bukan dengan RT PCR tapi dengan ii-PCR, itu adalah metode yang closed system, pelaporannya dengan indeks (pada intinya memang sejumlah indeks hasil pemeriksaannya berbeda dengan RT-PCR, red). Jadi, hasil PCR ini juga harus diperhatikan alat apa yang dipakai,” kata Fauqa ketika mengudara di Radio Suara Surabaya, Kamis (9/9/2021).

Fauqa menjelaskan, CT Value senilai 1,8 dengan metode ii-PCR itu sebenarnya bila dikonversi dengan ukuran RT-PCR kurang lebih CT Value-nya di bawah 20. Sebenarnya, sama-sama mengkhawatirkan. Karena berdasarkan sejumlah referensi, ukuran CT Value yang semakin rendah menunjukkan semakin banyaknya jumlah virus corona di dalam tubuh seorang pasien. Semakin banyak virus, semakin mudah orang itu menularkan virus kepada orang lain.

Selain itu, sesuai standar penanganan dari Kemenkes, seorang pasien Covid-19 dengan CT Value di bawah 25 sample-nya perlu diperiksa dengan dengan metode whole genome sequencing (WGS) untuk mengetahui kemungkinan virus Corona varian baru yang ada di dalam tubuhnya. Hanya saja, Fauqa mengakui, pihak RSLI memang menaruh kecurigaan khusus kepada tujuh pasien tersebut.

“Memang ada kecurigaan terhadap pasien-pasien ini. Mereka masuk Agustus, tapi setelah menjalani perawatan sampai hari ke-12, (tujuh) PMI yang datang dari Asia ini CT Value-nya tetap di bawah 20. Padahal mereka ini tidak mengalami gejala serius. Karena itu sample pemeriksaannya sudah kami kirimkan ke Institut of Tropical Diseases (ITD) Unair untuk diperiksa dengan metode Whole Genome Sequencing. Untuk hasilnya, WGS ini butuh waktu antara 2 sampai 4 minggu,” ujarnya.

Sementara itu, RSLI Surabaya tetap berpedoman pada standar penanganan pasien Covid-19 yang dikeluarkan Kemenkes. Bahwa pasien Covid-19 yang sudah menjalani perawatan selama 14 hari dan tidak lagi mengalami gejala, sudah bisa dipulangkan. Karena tidak tampak adanya gejala, tujuh pasien asal Madura dan Jember itu sudah dipulangkan ke daerah masing-masing.

Mengenai keterkaitan fenomena aneh pasien Covid-19 itu, Fauqa sendiri menegaskan, pihaknya belum bisa menyimpulkan apakah itu terkait dengan potensi masuknya virus varian baru Covid-19 yang belakangan ini sedang menjadi perbincangan. Apakah itu virus Corona varian Lambda yang kabarnya sudah ditemukan di Thailand, maupun virus Corona varian Mu yang menjadi kekhawatiran Joko Widodo Presiden juga Khofifah Gubernur Jatim beberapa waktu lalu.

“Tidak bisa menyimpulkan saat ini. Karena memang perlu menunggu hasil WGS-nya dari ITD. Tapi sebenarnya, varian Mu ini, kalau sesuai dengan apa yang disampaikan WHO, masuk dalam Varian of Interest (VoI). Sedangkan yang perlu diwaspadai sebenarnya adalah virus mutasi baru yang terkategori Varian of Concern (VoC) atau Varian of High Consequence (VoHC). Justru varian Delta yang menurut WHO masuk VoC,” kata Fauqa.

RSLI masih menunggu hasil WGS dari ITD, tidak hanya untuk tujuh pasien PMI asal Madura dan Jember yang datang dari Asia itu, tapi juga untuk kurang lebih 70 sampel lain yang sejak awal penanganan sudah dikirimkan oleh RSLI ke ITD Unair. Karena bukan cuma tujuh pasien itu saja yang CT Value-nya rendah. Fauqa menyebutkan, dari 130 pasien PMI yang dirawat di RSLI sampai Kamis pagi tadi, 10 persen di antaranya menunjukkan CT Value rendah.

Sebelumnya, Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jawa Timur sebelumnya memastikan adanya pemeriksaan kesehatan bagi orang yang akan masuk Indonesia lewat Bandara Internasional Juanda.

Pengetatan pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi masuknya varian Mu sehingga bisa dilakukan penanganan yang tepat agar tidak menyebar. Pemeriksaan terhadap penumpang penerbangan internasional ini, terutama terhadap pekerja migran Indonesia (PMI) di Bandara Juanda sudah dilakukan sejak April lalu.

Samole para pasien PMI yang mencurigakan selalu diperiksa dengan metode whole genome sequencing di Laboratorium Biosafety Level-3 (BSL-3) Institute Tropical Disease (ITD) Universitas Airlangga. Melalui pemeriksaan dengan WGS di ITD Unair inilah keberadaan virus varian Delta di dalam negeri, termasuk di Jawa Timur bisa diketahui, beberapa waktu lalu.(tin/den)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs