Polemik dugaan temuan adanya siswa SMP dari keluarga masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) jalur afirmasi atau mitra warga yang dipaksa untuk membeli seragam sekolah, membuat anggota dewan Kota Surabaya angkat bicara.
Arif Fathoni Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Surabaya meminta agar Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya tidak sibuk mengklarifikasi kejadian pemaksaan ini benar atau tidak, wali murid keluarga MBR terbukti mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli seragam atau tidak terbukti. Justru menurutnya, Dispendik harus melakukan evaluasi komprehensif dan monitoring lembaga pendidikan di bawah otoritasnya.
“Tidak usah sibuk ini benar atau tidak benar, wong faktanya ditemukan seperti itu. Lakukan evaluasi komprehensif dan monitoring lembaga pendidikan di bawah otoritasnya. Bila ditemukan dugaan memaksa keluarga MBR segera diajukan sanksi, sehingga kepercayaan publik terhadap sekolah kembali terangkat,” kata Arif kepada Suara Surabaya, Sabtu (4/9/2021).
Menurut Arif, negara punya kewajiban konstitusional untuk menjamin pendidikan warganya. Dia menyampaikan keprihatinannya, di masa pandemi seperti saat ini, bila ada keluarga MBR yang masih punya kemauan untuk menempuh pendidikan, lalu dibebani dengan kewajiban yang harusnya menjadi milik negara. Maka sekolah harusnya menyampaikan kepada orang tua, untuk mendorong anaknya agar rajin belajar tanpa perlu terbebani dengan masalah atribut.
“Pengalaman kami calon siswa disuguhi seragam baru harganya sekian, tentu orang tua akan mengupayakan berbagai cara. Beda kalau kalimatnya segala seragam telah disediakan pemerintah maka bapak ibu hanya mendorong anaknya untuk rajin belajar,” terang anggota Komisi A DPRD Surabaya ini.
Arif meminta bila ada wali murid MBR yang terlanjur membeli seragam, uangnya harus dikembalikan. Dia juga meminta agar Dispendik menginventarisir seluruh sekolah negeri yang jadi kewenangan pemkot, bila ada yang terlanjur membeli maka sekolah harus mengembalikan uang itu.
“Dispendik harus mencari. Di APBD tahun ini misal kurang ya harus dianggarkan tahun depan,” imbuhnya.
Menurutnya di era digital seperti saat ini di mana administrasi tercatat rapi, verifikasi data apakah siswa tersebut MPR atau tidak bukanlah hal yang sulit.
Dalam kesempatan tersebut Arif juga menyampaikan gagasan Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya, yang akan menyeragamkan atribut siswa mulai dari tas, sepatu dan seragam agar tidak ada kesenjangan. Gagasan ini akan dianggarkan mulai APBD tahun anggaran yang akan datang.
Kalau hal ini terlaksana, tentu gagasan visioner ini harus diterjemahkan oleh kepala OPD kepada jajaran di bawahnya.
“Kalau pemimpinnya sudah punya gagasan 5 tahun ke depan sementara bawahannya masih sibuk jualan seragam, ini tidak adaptif,” tegasnya.
Sementara Supomo Kepala Dinas Pendidikan Surabaya mengatakan, dalam temuan Dinas Pendidikan kepada empat wali murid SMP MBR, dia mengaku tidak menemukan ada yang dipaksa membeli seragam.
“Terhadap keluhan kemarin dipaksa, kami turun ke lapangan kami buatkan berita acara, monggo diisi seperti yang terjadi di sekolah. Alhamdulillah sepanjang yang saya baca wali murid tidak ada yang ngomong dipaksa. Kami datang ke rumahnya, bunyi pernyataanya nggak ada itu pemaksaan,” kata Supomo, Jumat (3/9/2021).
Dia juga menyebutkan tidak ada penjualan atribut sekolah secara paket ke koperasi sekolah.
Supomo berjanji akan mengevaluasi dugaan pemaksaan ini, dan penjualan di koperasi sekolah disetop sementara.(dfn/ipg)