Kamis, 21 November 2024

Laki-Laki Kerap Tidak Dipercaya Saat Mengalami Pelecehan Seksual

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Ilustrasi. Foto: Pixabay

Livia Istania DF Iskandar Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengatakan, laki-laki dewasa sering tidak dipercaya saat mengadu mengalami pelecehan seksual.

Sebabnya, konstruksi sosial yang berlaku di masyarakat telah mengekspektasikan bahwa laki-laki merupakan sosok yang kuat.

“Selama ini ekspektasi di masyarakat, laki-laki tidak menjadi korban. Pada perempuan korban pun sudah sulit, seperti sering disalahkan. Ternyata laki-laki juga sangat sulit untuk bisa melaporkan dan mendapat validasi atas peristiwa yang dia alami,” kata Livia seperti dilaporkan Antara, Jumat (3/9/2021).

Dia menyebutkan, stereotipe laki-laki sebagai sosok kuat dan berperan sebagai pencari nafkah menyebabkan beban psikologis berlapis saat mereka mengalami kekerasan seksual.

Selain itu, penyintas menjadi lebih sulit untuk mengeluarkan diri dari situasi yang “beracun” (toxic).

“Saya percaya itu mempengaruhi secara fisik dan psikis karena dia memikul beban yang besar,” kata perempuan yang juga aktif menjadi pembina di Yayasan Pulih itu.

Sebelumnya, Rabu (1/9/2021), seorang pegawai laki-laki di KPI Pusat berinisial MS menceritakan perundungan dan pelecehan seksual yang dia alami melalui sebuah surat terbuka yang beredar di media sosial.

Di dalam surat itu, MS juga secara gamblang menyebutkan nama-nama pegawai KPI sebagai terduga pelaku yang semuanya adalah laki-laki.

“Perundungan dan pelecehan seksual, dua-duanya ini benar-benar bisa membuat seseorang merasa tidak berdaya dan kehilangan kepercayaan diri. Dampaknya bisa membekas selama bertahun-tahun dan sangat negatif,” tutur Livia.

Menurutnya, kasus MS yang mencuat di publik memberi ruang serta momentum untuk ditelaah lebih jauh. Livia merujuk pada data LPSK bahwa selama ini sangat jarang laki-laki penyintas kekerasan seksual yang melapor.

Baik itu berkaitan dengan peristiwa yang dia alami di lingkup keluarga/rumah, sekolah, perguruan tinggi, tempat ibadah, hingga tempat kerja.

“Kalau laki-laki yang mengalami kekerasan seksual pada usia dewasa, saya belum pernah mendampingi. Memang, waktu itu pernah mendampingi laki-laki dewasa yang jadi korban dan meminta bantuan perlindungan ke LPSK, tetapi peristiwa kekerasannya terjadi saat dia masih anak-anak,” katanya.

Livia mengatakan, proses penyintas untuk berani berbicara, membuka kasus, berkonsultasi kepada profesional, sampai berkeinginan pulih merupakan jalan yang panjang, berliku, dan kompleks.

“Saya punya klien bisa lebih dari 20 sampai 30 tahun baru bisa menceritakan tentang kekerasan seksual yang dialaminya kepada psikolog,” tuturnya.

Dia bilang, salah satu dampak psikologis dari peristiwa kekerasan seksual pada penyintas adalah perasaan benci terhadap dirinya sendiri.

Hal itu pula yang menyebabkan penyintas memilih diam dan menanggung trauma sendirian ditambah lingkungan yang tidak memihak serta mendukungnya, sehingga butuh waktu lama untuk berani bicara (speak up).

“Selama proses speak up, bayangkan berapa kali penyintas harus mengulang cerita trauma yang sama. Dimulai dari saat bercerita kepada keluarga dekat atau teman dekat, lalu melapor ke polisi, belum lagi nanti akan diminta keterangan kembali,” ujarnya.

“Berat sekali untuk sampai titik akhir. Oleh karena itu, saya sangat menghargai keberanian para penyintas yang mau melaporkan dan mencari keadilan walaupun jalannya berliku-liku,” kata Livia.(ant/iss/den)

Berita Terkait

Surabaya
Kamis, 21 November 2024
26o
Kurs