Sabtu, 23 November 2024

Bukan Koruptor, Pelaku Korupsi Harusnya Disebut Pencuri

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Joko Widodo Presiden berdiskusi tentang Islam Moderat dengan Quraish Shihab cendekiawan Muslim, Jumat (25/1/2019), di Tangerang Selatan, Banten. Foto: Biro Pers Setpres

Profesor Muhammad Quraish Shihab Cendekiawan Muslim mengatakan, penyebutan koruptor bagi terpidana atau pelaku korupsi dia nilai terlalu halus. Kata pencuri dia anggap lebih pantas.

“Kenapa orang miskin yang mengambil bukan haknya dinamai pencuri, sementara pejabat atau pegawai kita namai koruptor? Dia itu (juga) pencuri,” katanya dalam tayangan Shihab dan Shihab, sebagaimana dikutip NU Online.

Sebuah data menunjukkan, sejak 2004 lalu sampai Juli 2020, tindak pidana korupsi di Indonesia sebanyak 1.032 kasus dengan berbagai jenis perkara korupsi yang kerap dilakukan.

Tindak korupsi yang kerap muncul itu antara lain penyuapan sebanyak 683 kasus, pengadaan barang atau jasa sebanyak 206 kasus, dan beberapa perkara lain seperti penyalahgunaan anggaran dan perizinan.

Seharusnya, kata Quraish, karena para koruptor itu tidak punya “urat” malu, maka mereka wajib dipermalukan. Sudah banyak fakta yang membuktikan bahwa para koruptor itu tetap biasa-biasa saja tanpa merasa bersalah dan tampak gembira dalam gelak tawa di masa hukumannya.

“Tidak cukup dengan hanya mengenakan pakaian kuning dan dihukum saja. Intinya koruptor itu harus dipermalukan, itu satu,” kata Prof Quraish. Selanjutnya, karena dampak apa yang mereka lakukan juga berlaku untuk anak keturunannya, penulis Tafsir Al-Misbah itu bilang, perlu ada hal lain.

Untuk memberikan penyadaran terhadap para “pencuri” itu, salah satu caranya dengan memiskinkan mereka, termasuk anggota keluarga mereka. Bukan sekadar mengambil kembali apa yang sudah mereka curi, tapi termasuk apa yang sudah mereka dapatkan selain dari hasil mencuri.

Karena bila hanya menagih pengembalian dari kerugian negara berupa uang, para pelaku dan terpidana itu masih tetap bisa merasakan keuntungan dari sejumlah harta yang sudah mereka investasikan.

“Katakanlah (harta hasil korupsi) masuk ke bank, diinvestasikan, kan, ada untungnya?” Ujarnya. “Jadi keuntungan yang diperoleh, walaupun bukan (dari hasil) korupsi, ambil juga. Sehingga dia jadi miskin,” ujar Ayahanda Najwa Shihab itu.

Semua harta yang terambil atau terkumpul dari hasil korupsi adalah haram dan buruk. Bahkan, dampak bila menafkahi Keluarga dari hasil korupsi menurut Prof Quraish anak atau keluarga itu bisa buruk karakternya.

Dia menceritakan, ada seorang ibu yang dianugerahi anak-anak sukses. Ketika ditanya, apa rahasianya, ibu itu menjawab, tidak pernah sekali pun dia memberikan makanan haram kepada anaknya.

“Kata Nabi (Muhammad SAW), setiap daging yang tumbuh dari makanan haram, maka nerakalah tempatnya,” kata Prof Quraish. Dia memandang, salah satu faktor yang penting digalakkan dalam masyarakat adalah peranan istri dan anak.

Istri dana anak, kata Prof Quraish, bukan sekadar perlu mendorong suami untuk tidak korupsi, tapi lebih jauh dari itu, fungsi keluarga harus menghalangi anggota keluarga lain untuk tidak melakukan tindakan pencurian seperti itu.

Lantas bagaimana kalau keluarga memang tidak pernah tahu bahwa harta yang diberikan itu adalah hasil korupsi? Prof Quraish menjawab, Tuhan tidak membebani terhadap apapun yang tidak diketahui makhluk-Nya.

Menyitir apa yang termuat di dalam Kitab Suci Alquran, Quraish menegaskan bahwa orang tua berkewajiban mencari tahu setiap penghasilan lebih dari yang didapatkan anaknya.

“Ayah atau ibu kalau melihat anaknya punya kelebihan (penghasilan), dia harus bertanya dari mana sumbernya? Istri juga begitu, kalau dia tahu gaji suaminya hanya terbatas sekian,” bebernya. “Itu perlu diupayakan supaya tercipta kenyamanan dalam keluarga.”(den)

Bagikan
Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
28o
Kurs