Jumat, 22 November 2024

Guru Besar ITS: Revisi Permen ESDM Terkait PLTS Atap Abaikan Potensi APBN

Laporan oleh J. Totok Sumarno
Bagikan
ilustrasi

Prof Ir Mukhtasor MEng PhD., Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menyampaikan bahwa rencana revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No.49 tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero) sama saja mengabaikan potensi uang APBN yang menguap tanpa nilai tambah industri nasional produsen PLTS.

Pemerintah saat ini sedang melakukan revisi terhadap Permen ESDM, guna mengubah skema ekspor impor PLTS Atap ke jaringan listrik PLN dari 1:0,65 menjadi 1:1. Menurut Mukhtasor, Permen tersebut lebih rasional dan adil saat sebelum direvisi karena setrum yang diproduksi oleh PLTS Atap diekspor ke jaringan PLN pada siang hari, dan digunakan oleh pemasang PLTS Atap pada malam sebanyak 65 persen sebagai kompensasi biaya penyimpanan listrik.

“Kompensasi ini dapat digunakan sebagai biaya untuk mengatasi berbagai masalah, sebuat saja biaya menyalakan pembangkit untuk mengantisipasi ketidakpastian pasokan PLTS,” terang Mukhtasor, Rabu (25/8/2021).

Pada Draft Revisi Permen ESDM tersebut, Mukhtasor menganggap biaya kompensasi yang ada sebelumnya akan diabaikan karena semua listrik yang diekspor siang dapat seluruhnya diimpor kembali malam. Dengan skema 1:1 ini, kompensasi biaya penyimpanan menjadi tanggungan PLN. “Sehingga ketika beban keuangan menimpa PLN, pada akhirnya menjadi beban APBN karena kerugian PLN akan menjadi tanggungan pengeluaran APBN,” tambah Mukhtasor.

Menurut Guru Besar Teknik Kelautan ITS ini, Draft Revisi Permen ESDM saat ini juga mengabaikan amanat Peraturan Pemerintah (PP) No. 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035.

Sehingga membuka pintu masalah di mana potensi kemampuan APBN justru akan menguap. Hal tersebut terjadi karena APBN pada akhirnya terdampak beban kompensasi biaya penyimpanan setrum yang dialihkan dari tanggung jawab pemasang PLTS Atap menjadi beban PLN.

“Jika Draft revisi Permen ESDM tersebut disahkan, menunjukkan bahwa Menteri ESDM sudah tidak efektif mengkoordinasikan penyelarasan kebijakan lintas sektoral, khususnya dengan Kementerian Perindustrian,” papar mantan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) angkatan pertama tersebut.

Mukhtasor menambahkan, jika DEN tidak mengambil sikap dalam penyelarasan ini, berarti DEN telah gagal menjalankan amanat UU No. 30 tahun 2007 tentang Energi, di mana kebijakan lintas sektoral harus dikoordinasikan. Karena hal tersebut, Mukhtasor menyarankan agar pemerintah membatalkan Draft Revisi Permen ESDM tersebut dan menggantinya dengan strategi menguatkan industri nasional produsen solar cell.

Nantinya, lanjut Mukhtasor, biaya yang semula harus digunakan untuk menutup kompensasi diubah menjadi insentif untuk industri nasional rantai pasok PLTS, terlebih produsen solar cell. “Dengan demikian harga solar cell dari industri nasional kompetitif di pasaran dan pengguna PLTS Atap dapat membelinya lebih murah, sehingga keekonomian PLTS Atap akan meningkat,” papar Mukhtasor.

Terlebih strategi menguatkan industri nasional produsen solar cell sejalan dengan PP No. 14 tahun 2015 yang telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam PP tersebut, pemerintah menetapkan enam jenis industri andalan dalam Pembangunan Industri Nasional yang satu diantaranya adalah industri pembangkit energi. “Bukan sebuah kebetulan, solar cell adalah primadona dalam perencanaan industri andalan tersebut karena diutamakan pada seluruh tahapan rencana,” kata Mukhtasor.

Mukhtasor pun berharap agar Presiden Jokowi dapat mengambil sikap yang tepat terhadap kekeliruan yang terjadi di Kementerian ESDM saat ini. “Untungnya, kebijakan atau program yang berdampak luas harus dilaporkan ke Presiden dan berkoordinasi dengan Sekretaris Kabinet, sehingga masih ada waktu untuk memperbaiki,” pungkas Mukhtasor.(tok/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs