Tak bisa dipungkiri, sekolah daring punya sisi-sisi negatif yang tidak kasat mata pada anak.
Menurut Bagus Sanyoto Konsultan Learnership, pemerintah selama ini getol memberikan pedoman protokol kesehatan tapi tidak dengan protokol daring. Padahal ini tak kalah pentingnya.
“Literasi digital menurut saya hanya narasi basic yang disampaikan. Padahal yang nampak itu migrasi digital, maka bagaimana ketika anak belajar di kepalanya yang ada bukan belajar tapi mengakses apa aja bisa, boleh. Apalagi dikasih kuota gratis, orang tua punya akses wifi tanpa batas itu akan mengarah ke over load, termasuk dalam hal bagaimana memahami pemanfaatannya,” ujarnya saat mengudara di Radio Suara Surabaya, Kamis (19/8/2021),
Hal yang tidak disadari dari internalisasi materi literasi digital adalah anak-anak mengalami kejenuhan saat belajar daring. Sehingga anak mengalihkan kejenuhannya dengan mengakses situs-situs di luar pembelajaran. Bahkan menurutnya, di sela-sela belajar kalau guru atau materi yang disampaikan tidak menarik, anak akan langsung ‘rekreasi’ di luar jaringan belajarnya.
Dia menambahkan, anak-anak sekarang banyak yang ekspresi wajah menjadi datar, dingin dan kaku seolah-olah menyimpan perasaan tidak nyaman.
Selain itu karena posisi duduk yang tidak ergonomis saat daring, 6-7 remaja putri yang duduk di bangku SMP/SMA wajahnya miring karena terlalu sering rebahan.
Konsekuensi lainnya yaitu memunculkan penyakit saraf pada punggung yang mulai menyasar anak SMA karena duduk tidak ergonomis selama berjam-jam.
“Konsekuensi lain memunculkan penyakit saraf di tulang punggung mulai mengena anak-anak SMA, karena daring berjam-jam posisi duduk tidak argonomis. Duduknya miring kepalanya penceng, itu konsekuensi fisik. Dan anak-anak sekarang gampang capek,” imbuhnya.
Agar menciptakan suasana yang nyaman dalam sekolah daring bagi orang tua dan anak, Bagus menyarankan, orang tua harus memfasilitasi anaknya dengan kursi ergonomis. Karena dengan kursi ergonomis menciptakan suasana seperti di ruang kelas sehingga menyerap ilmu jadi lebih optimal.
Lalu orang tua harus meluangkan waktu untuk mendampingi anaknya saat belajar.
Bukan hanya orang tua, guru juga memainkan peran sentral. “Guru harus mengingatkan berulang-ulang saat pembelajaran untuk mengatifkan kameranya, untuk mengantisipasi anak mengakses situs yang terlalu bebas,” terangnya.
Dia juga meminta agar pemerintah menciptakan protokol sekolah daring yang rasional dan aktual.
Dalam sekolah daring, minimal gadget yang digunakan adalah laptop. Kalau menggunakan handphone yang kecil, anak jadi terbiasa memaksakan fokusnya. Lain dengan laptop, anak jadi fokus dengan santai. Selain itu dengan menggunakan laptop, orang tua bisa lebih leluasa dalam mengawasi anak.
Jangan sekolah daring di ruang tersembunyi, kata Bagus. Dia menyarankan agar belajar dilakukan di ruang tamu namun tidak terlalu ramai. Ini juga mengajarkan anak akan konsep keterbukaan dan kejujuran, karena apapun yang diaksesnya akan terlihat.(dfn/ipg)