Sabtu, 23 November 2024

DPR Pertanyakan Regulasi PLTS Atap yang Dinilai Tergesa-gesa

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Ilustrasi. Instalasi pembangkit listrik tenaga surya yang terpasang di atap bangunan yang ada di kawasan industri Jababeka, Bekasi, Jawa Barat. Foto: Antara

Komisi VII DPR akan mempertanyakan rencana revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang dinilai tergesa-gesa dan tidak melibatkan pemangku kepentingan terkait, khususnya PLN dan Kementerian Keuangan, yang akan terkena dampak penerapan permen tersebut.

“Kami (Komisi VII) akan tanyakan dalam Raker dengan Menteri ESDM. Dari semua pihak yang terkait dengan PLTS atap, yang terkait PLN akan menjadi pihak yang akan dirugikan. Sudah utangnya banyak, mesti membeli lagi listrik dari PLTS Atap yang mayoritas punya orang-orang kaya di perkotaan. Padahal pasokan listrik di kota kan oversupply,” ujar Mulyanto Anggota Komisi VII DPR saat diskusi dengan wartawan secara virtual di Jakarta, Rabu (18/8/2021).

Mulyanto mengatakan, Kementerian ESDM harus menimbang rencana mengubah aturan mengenai PLTS atap kendati alasannya demi meningkatkan kapasitas penggunaan PLTS atap secara masif. Dia khawatir aturan pengganti nanti jadi celah bagi pengusaha nakal untuk terjun ke sektor ketenagalistrikan melalui cara yang tidak tepat.

Menurutnya, jika pemerintah ingin mendorong energi baru dan terbarukan (EBT) dan menggerakkan minat masyarakat maka pemerintah harus memfasilitasi, seperti ada insentif atau regulasi yang mendukung.

Rancangan permen ESDM soal PLTS atap dinilai bagus untuk mendorong produksi listrik EBT. Namun bila yang menikmati regulasi ini pelanggan di wilayah Jawa-Bali-Sumatera yang surplus listrik, apalagi di perumahan mewah di kota besar, selain PLN akan semakin buntung juga melukai rasa keadilan.

“Surplus listrik makin bertambah, mesin argo TOP (take or pay) makin tinggi, plus PLN harus bayar tambahan selisih ekspor-impor listrik PLTS sebesar 35 persen tarif. Karena sekarang ini tarif ekspor-impor=1:0.65, sedangkan yang menikmati adalah rumah mewah orang kaya di kota,” ujar Wakil Ketua Fraksi PKS DPR ini.

Seharusnya, lanjut Mulyanto, dalam aturan tersebut ada batasan, misalnya, hanya berlaku di daerah minus listrik dan diproduksi oleh lembaga sosial seperti pesantren, lembaga pendidikan, rumah sakit dan sejenisnya. “Bukan dari rumah mewah di kota yang surplus listrik lagi,” katanya seperti yang dilansir Antara.

Menurut Mulyanto, pengembangan PLTS atap di wilayah yang surplus dinilai tidak ada urgensinya dan tidak tepat. “Jangan yang mubazir lah, kan tak bagus. Kalau ini dijadikan alat marketing, bisa-bisa ditengarai mereka yang mendorong permen ini. Apalagi di masa pandemi, ini jadi ketidakadilan. Rumah mewah sekian miliar dengan PLTS Rooftop,” katanya.

Dia meminta pemerintah melihat secara objektif kewajaran produksi listrik di setiap tempat. Besaran itu ditentukan oleh kewajaran kebutuhan dimana listrik itu diproduksi. “Tentu besaran produksi listrik di perumahan berbeda dengan industri,” tegas Mulyanto.

Hal ini, kata Mulyanto, perlu diatur agar tidak ada pengusaha yang membonceng Permen ini untuk kepentingan bisnisnya. Tidak sedikit ditemukan pengembang perumahan mewah menjadikan fasilitas PLTS atap sebagai bahan jualannya.

“Secara ekonomi kondisi ini tentu tidak adil. Masak Pemerintah memberi subsidi kepada masyarakat yang mampu. Sementara di wilayah terpencil lainnya masih ada masyarakat yang belum dapat menikmati listrik,” katanya.

Herman Haeron, Anggota Komisi VI (BUMN) DPR mengatakan ke depan EBT harus menjadi sumber energi bagi masyarakat. Dia mengakui investasi di EBT mahal, “Karena itu, dalam mencapai target bauran energi, pemerintah harus ambil bagian apakah melalui APBN atau BUMN,” katanya.

Terkait draf revisi Permen ESDM soal PLTS Atap, Herman menilai sepanjang belum ada UU-nya bisa menjadi aturan pelaksanaan penggunaan energi berbasis PLTS atap. Jika regulasi itu berdampak negatif bagi BUMN, kembali lagi kepada pemerintah. “Jika ada penugasan yang berpotensi merugikan BUMN, harus disertai dengan adanya kompensasi,” ujarnya.(ant/tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs