Sabtu, 23 November 2024

Epidemiolog UI Menilai Harga Tes PCR Rp550 Ribu Masih Terlalu Mahal

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Ilustrasi Tes Swab yang difasilitasi Satgas Covid-19 Pemkot Surabaya. Foto: Dok./ suarasurabaya.net

Pada Minggu (16/8/2021) kemarin, Joko Widodo Presiden menginstruksikan Budi Gunadi Sadikin Menteri Kesehatan untuk membatasi harga tes PCR antara Rp450-550 ribu per orang.

Menurut dr. Pandu Riono, MPH, Ph.D. Epidemiolog Universitas Indonesia (UI), patokan harga tersebut masih terlalu mahal jika dibandingkan harga reagen yang hanya berkisar Rp150 ribu. Sehingga menurutnya, harga tes PCR di Indonesia seharusnya bisa lebih rendah lagi.

“Masih terlalu mahal. Kalau kita lihat di e-katalog, harga produk yang sudah ada di Indonesia dan sudah diakui untuk (reagen) PCR itu bisa di bawah Rp150 ribu, itu masih bisa rendah lagi dengan beli banyak karena ada diskon,” jelas dr Pandu kepada Radio Suara Surabaya, Senin (16/8/2021).

Ia melanjutkan, di dalam e-katalog alat kesehatan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) tersebut sudah jelas tertera di dalam produk, harga dan izin produk. Sehingga, laboratorium tidak bisa mematok harga sebebas-bebasnya.

Ia memaklumi jika sebelumnya, tes Covid-19 masih mahal karena alat testing di Indonesia sebagian besar masih impor. Namun saat ini, pemerintah sudah mendorong produksi alkes dalam negeri agar harga tes Covid-19 dapat lebih terjangkau. Ditambah dengan adanya pembebasan pajak untuk obat dan alat kesehatan, menurut dr. Pandu, tidak ada alasan harga tes PCR di Indonesia masih tinggi.

Mahalnya biaya testing hingga kisaran Rp800 ribu, lanjutnya, bisa jadi karena laboratorium tidak efisien dalam mengelola alat tes sehingga biaya tes lebih banyak dibebankan untuk biaya operasional. Hal itu juga berlaku untuk harga tes Antigen yang seharusnya dapat lebih ditekan.

“Harga processing tergantung lab. Kalau lab tidak efisien akan melambung biaya operasionalnya. Makanya setiap perusahaan harus menekan biaya operasional. Apalagi selama ini dibebaskan pajak selama pandemi. Sebenarnya tidak ada alasan tes sampai satu juta. Rp500 ribu itu saja untungnya masih terlalu besar. Jadi menurut saya separuhnya lah, ya,” jelasnya.

“Harga reagen Rp150 ribu, biaya processing sama lainnya mungkin Rp100 ribu, lah. Jadi Rp250 ribu itu sudah menguntungkan,” jelasnya.

Ia menilai, selama ini pengawasan dari pemerintah terhadap biaya alat-alat kesehatan khususnya alat testing masih sangat kurang. Alhasil, di masyarakat berlaku hukum pasar bebas yakni harga akan melambung saat permintaan menjadi tinggi.

Seperti yang sebelumnya, terjadi lonjakan harga 11 jenis obat-obatan terapi pengobatan pasien terinfeksi Virus Corona yang melambung berkali-kali lipat karena permintaan yang tinggi. Hingga akhirnya, Menteri Kesehatan mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Harga Eceran Tertinggi Obat dalam Masa Pandemi Covid-19.

Menurut dr. Pandu, hal seperti itu seharusnya tidak terjadi mengingat alat kesehatan menjadi elemen paling penting di masa pandemi. Terlebih lagi, alat kesehatan tergolong produk high regulated karena ada jaminan kualitas serta harga yang rasional.

“Penyebabnya (harga tes tinggi), ya karena nggak ada yang ngatur. Hukum ekonomi yang ngatur. Beberapa bulan yang lalu obat (Covid-19) kan juga seperti itu. Akhirnya pakai hukum pasar bebas. Ini menurut saya tidak bisa di masa pandemi, situasi normal aja nggak boleh,” lanjutnya.

Meski terlambat, namun dr. Pandu cukup mengapresiasi upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengontrol harga tes PCR. Dengan biaya tes yang lebih terjangkau, diharapkan upaya testing di Indonesia bisa meningkat dan pengendalian pandemi dapat lebih maksimal.

“Di India kuncinya testing. Kota Wuhan bisa begitu efektifnya pengendalian Covid-19 kuncinya di sana (testing), saya kira di China sangat murah. Itu lah mengapa kuncinya di testing,” imbuhnya.(tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
31o
Kurs