Memperingati Hari Perlindungan Konsumen, Universitas Hayam Wuruk (UHW) Perbanas bersama Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Republik Indonesia menggelar Festival Edukasi Perlindungan Hak Konsumen, Sabtu (14/8/2021).
Perhelatan festival itu merupakan tindak lanjut nota kesepahaman (MoU) kedua lembaga dalam mengedukasi masyarakat Indonesia tentang pentingnya hak-hak konsumen memanfaatkan produk barang maupun jasa.
Dr. Soni Harsono Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama UHW mengatakan, kegiatan festival bertema “Menjadi Konsumen Milennial yang Cerdas” itu bertujuan mendorong semangat literasi dan kemampuan kritis pelajar berkaitan perlindungan hak konsumen.
“Ada tiga lomba yang kami gelar yaitu, lomba Poster, lomba Video, dan lomba Debat,” terang Soni Harsono, Sabtu (14/8/2021).
Selain perlombaaan bagi pelajar SMA sederajat, sejumlah akademisi, praktisi, hingga masyarakat umum ikut dalam kegiatan Ruang Edukasi Konsumen bersama BPKN dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional Jawa Timur.
“Kami berharap, kegiatan ini memberi manfaat untuk kita semua khususnya anak-anak di sekolah lanjutan tingkat atas agar dapat menjadi konsumen millennial yang cerdas di era digital yang perkembangannya begitu cepat,” kata Soni.
Dr. Rizal E. Halim Ketua BPKN RI mengatakan, fungsi BPKN RI adalah memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya mengembangkan Perlindungan Konsumen.
Dasar hukumnya dari Konstitusi Negara Republik Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Sejak 2017 hingga 30 Juli 2021, kata Rizal, total pengaduan yang diterima oleh BPKN RI mencapai 6.597 pengaduan. Pada 2021 ini, kata Rizal, ada peningkatan pengaduan yang cukup signifikan mencapai 2.787 pengaduan.
“Ini ada banyak kasus, dan yang paling ramai adalah e-Commerce dan Jasa Keuangan di (tahun) 2021,” papar Rizal.
Sementara itu, Inggit Mawarsih Puspitasari, Kabag. Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK pada kesempatan itu menambahkan, tantangan perlindungan konsumen itu satu di antaranya adalah informasi asimetris di luar lembaga jasa keuangan.
Informasi asimetris yang beredar di lingkungan menemukan tingkat literasi lebih rendah dibandingkan inklusi.
“Padahal, secara fundamental, kami harus menguatkan sisi pengetahuan atau literasi. Baru saat memanfaatkan produk keuangan dapat dimanfaatkan dengan baik dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari,” kata Inggit.(tok/den)