Jumat, 22 November 2024

Epidemiolog Unair: Tidak Akan Tercapai, Tidak Perlu Lagi Ngomong Herd Immunity

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Windhu Purnomo Epidemiolog FKM Unair. Foto: dok suarasurabaya.net

Dr dr Windhu Purnomo Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya menegaskan, secara hitung-hitungan, herd immunity atau kekebalan kelompok tidak akan tercapai dengan kondisi pandemi di Indonesia saat ini.

“Kalau hitungan saya enggak akan (tercapai). Sudah, enggak usah omong herd immunity, yang penting mengendalikan pandemi ini,” ujarnya ketika mengudara di Radio Suara Surabaya, Senin (9/8/2021).

Sesuai rumus hitung-hitungan epidemiologi dengan pertimbangan kondisi saat ini, seiring penyebaran virus corona Varian Delta, Indonesia baru bisa mencapai herd immunity kalau 100 persen penduduk sudah mendapatkan dua dosis vaksin Covid-19.

“Padahal kita tahu ada orang yang enggak mau divaksin. Meski tidak banyak seperti dulu, akan tetap ada yang tidak mau divaksin. Sekitar 5 persen-an (dari populasi),” kata Windhu.

Herd Immunity, kata Windhu, adalah kekebalan terhadap virus corona yang ada di populasi. Kekebalan kelompok baru bisa muncul ketika sebagian besar populasi sudah dapat kekebalan.

Ada dua cara. Yakni secara alamiah dan secara buatan. Alamiah dalam arti bila hampir semua orang terinfeksi virus. Tapi hal ini akan mengakibatkan jumlah kematian yang sangat besar dan tidak diinginkan.

Kemudian bisa dengan kekebalan kelompok buatan, yakni dengan vaksinasi, seperti yang sudah dilakukan puluhan tahun lalu ketika dunia menghadapi pandemi virus Influenza misalnya. Namun, untuk mencapai kekebalan itu tidak mudah.

“Karena herd immunity itu juga bergantung pada karakteristik setiap virus sebagai agen penularan. Virus Wuhan yang asli, tingkat penularannya sekitar tiga. Artinya satu orang terinfeksi virus wuhan bisa menularkan ke tiga orang lain selama masa infeksius. Nanti orang yang tertular bisa menularkan ke tiga orang lainnya. Terus begitu sampai banyak yang tertular,” ujarnya.

Angka 3 itulah dalam istilah epidemiologi yang disebut dengan bilangan reproduksi dasar atau kerap disebut R0.

Masalahnya, R0 virus Wuhan itu masih jauh lebih rendah dari virus-virus varian baru yang bermunculan saat ini. Misalnya varian Alfa yang dikenal B.1.1.7, yang pertama kali ditemukan di Inggris, R0-nya disebut-sebut 70 persen lebih menular daripada virus asal Wuhan.

“Sedangkan Delta (varian B.1.617.2 yang pertama kali ditemukan di India) lebih ngeri lagi. Dia 40 persen lebih menular daripada virus Alfa. Artinya, Delta ini 98 persen lebih menular daripada Wuhan. Hampir seratus persen atau hampir dua kali lebih menular,” ujarnya.

Dengan demikian, R0 untuk varian Delta, seperti dijelaskan Windhu, sekitar 6,5. Artinya, setiap satu orang yang tertular virus bisa menularkan virus selama masa infeksius kepada 6 sampai 7 orang lainnya, dan seterusnya.

“Jadi bukan tiga lagi. Cepat sekali penularannya. Itu yang kemudian memperbesar persentase capaian vaksinasi untuk mencapai herd immunity. Jadi kalau yang Wuhan itu cukup 70 persen, dengan adanya Delta ini butuh sekitar 85 persen populasi,” ujarnya.

Seharusnya, kata Windhu, dari sekitar 40 juta penduduk di Jatim, bila yang beredar hanya virus varian asli dari Wuhan, yang harus divaksin cukup 28 juta orang (70 persen) saja. Tapi dengan adanya Varian Delta, butuh 34 juta warga yang divaksin (85 persen).

“Iya. Kalau 31,8 juta sasaran yang ditentukan oleh Kemenkes itu ngitungnya karena (mempertimbangkan) tidak semua yang beredar (di Indonesia) itu (virus) Varian Delta. Jadi dianggap 31,8 persen,” ujar Windhu.

Namun, herd immunity tidak hanya bergantung pada tingkat penularan virus Covid-19. Windhu menjelaskan, ukuran herd immunity juga harus memperhitungkan efikasi atau efektivitas vaksin Covid-19 yang ada.

Kalau efikasi vaksin yang ada tergolong rendah, maka akan dibutuhkan proporsi cakupan vaksinasi yang lebih tinggi untuk mencapai herd immunity.

“Jadi yang tadi, target vaksinasi 70 persen dan 85 persen itu sebenarnya dihitung dengan asumsi efikasi vaksinnya 100 persen. Padahal efikasi vaksin di Indonesia tidak sampai segitu,” ujarnya.

Hitung-hitungan herd immunity itu, kata Windhu, menggunakan rumus dengan mempertimbangkan dua hal itu. Tingkat penularan virus atau bilangan reproduksi dasar (R0) dan efikasi vaksin. Rumusnya, kata dia, 1-1/R0.

“Kami kemarin sudah sampaikan ini ke kementerian terkait. Makanya Menkes, juga Pak Luhut Menko Marves menyampaikan, sudah tidak perlu lagi menggunakan kata herd immunity. Itu benar. Tidak usah lagi menggunakan istilah herd immunity,” ujarnya.

Pada intinya, kata Windhu, di tengah situasi sekarang, Indonesia makin sukar mencapai herd immunity. Karena varian virus yang ada semakin menular dan efikasi virus tidak sampai 100 persen. Sebab itulah dia bilang herd immunity tidak akan tercapai.

“Jadi yang penting begini, capailah cakupan vaksinasi sebesar mungkin. Kalau perlu seluruh masyarakat divaksinasi. Sekarang tinggal bagaimana kita mengendalikan pandemi ini,” ujarnya.

Capaian vaksinasi, kata Windhu, saat ini tidak bisa dijadikan patokan keberhasilan. Karena patokan yang sebenarnya adalah positivity rate suatu daerah yang baru bisa dibilang terkendali kalau sudah mencapai angka 5 persen.

“Jadi ukuran vaksinasi itu cukup dari total sasaran yang ditetapkan saja. Tapi tidak usah menyatakan itu herd immunity atau bukan. Misalnya dari kementerian menyatakan 31 juta (penduduk), capai lah itu. Kalau bisa lebih. Enggak usah lagi ngomong herd immunity, apalagi kalau yang sudah tinggi itu baru vaksin dosis kesatu. Ingat, ya, kekebalan itu baru tercapai kalau kita sudah mendapat dua dosis lengkap. Surabaya sudah 70 persen itu baru dosis kesatu, dosis kedua tidak sampai 40 persen. Mojokerto yang sudah 93 persen juga dosis kesatu, dosis keduanya baru sekitar 30 persen,” ujar Windhu.(den)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs