Jumat, 22 November 2024

Pengamat Ekonomi Unair Tanggapi Tingkat Pengangguran yang Makin Meningkat

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Rumayya Batubara Ekonom sekaligus Peneliti CISS Unair. Foto: Denza suarasurabaya.net

Pada Februari 2021 lalu, tingkat pengangguran terbuka (TBT) di Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik mencapai 6,26 persen atau mencapai 8,75 juta. Kenaikan jumlah tingkat pengangguran beberapa waktu terakhir sejalan dengan kenaikan kasus Covid-19.

Beberapa waktu yang lalu, pemerintah kembali menerapkan PPKM Darurat yang dilanjutkan dengan PPKM Level 4 untuk membatasi mobilitas masyarakat saat kasus Covid-19 melonjak tajam. Seperti yang dilansir bisnis.com, Akhmad Akbar Susamto Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) memperkirakan tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2021 diperkirakan akan naik ke kisaran 7,15 persen hingga 7,35 persen.

“Jadi situasi pada bulan Agustus nanti, kemungkinan akan lebih buruk dibandingkan dengan pada bulan Agustus 2020 dan Februari 2021,” kata Akhmad pada CORE Midyear Review 2021 secara virtual, Selasa (27/7/2021).

Dr. Rumayya Batubara Peneliti Center of Indonesian Socioeconomic Studies (CISS) FEB Universitas Airlangga (Unair) mengatakan, pola tingkat pengangguran pada krisis ekonomi sepanjang pandemi Covid-19 tergolong menarik.

Jika dibandingkan dengan krisis ekonomi 1998 atau sebelum pandemi, krisis ekonomi lebih disebabkan adanya mismanajemen. Sedangkan saat ini, krisis ekonomi disebabkan karena faktor kesehatan yang membatasi mobilitas masyarakat. Pembatasan mobilitas mempengaruhi daya beli dan tingkat penjualan yang menurun. Sehingga tingkat pengangguran meningkat hampir merata di semua sektor.

“Waktu itu (krismon 1998) banyak UKM bergerak, jadi UKM jadi bumper ekonomi nasional. Pengangguran lebih bisa diamankan. Sekarang berbeda, ini masalah kesehatan, jadi orang tidak bisa berkerumun. Ini menghantam semua sektor dan sayangnya usaha yang kecil-kecil terdampak lebih intens,” kata Rumayya kepada Radio Suara Surabaya, Jumat (6/8/2021).

Ia menjelaskan, sektor industri yang paling terdampak selama pandemi Covid-19 adalah manufaktur dibanding sektor ekstraksi alam atau pertanian dan jasa. Dari sini lah timbuh masalah mengingat industri manufaktur adalah sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja.

Dalam data BPS Februari lalu, dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkan pada Februari 2021, TPT untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masih mendominasi tingkat pengangguran yakni sebesar 10,41 persen.

Menurutnya, pemerintah juga harus mengevaluasi sistem pendidikan selama ini khususnya untuk pendidikan SMK. Sistem pembelajaran di SMK perlu di-update mengingat saat ini inovasi teknologi terus berubah.

“Berarti ada yang salah sama SMK kita, entah kualitas pendidikan, atau SMK kebanyakan, atau memang nggak relevan. Sekarang 4.0 ilmu berkembang terus, harus diupdate. Vokasi kadang masih terjebak sama keilmuan yang spesifik,” ujarnya.

Menurut Rumayya, dengan banyaknya pengangguran, tantangan terbesarnya adalah terjadinya kelaparan. Ketika seseorang menganggur dalam waktu yang lama dalam situasi krisis ekonomi dan krisis kesehatan, maka masyarakat yang tidak memiliki cukup tabungan atau pekerja harian dapat dilanda kelaparan.

Untuk itu, dibutuhkan kerjasama masyarakat untuk saling menolong masyarakat yang terdampak selain mengandalkan bantuan dari pemerintah.

Selain itu, perlunya membangun kesadaran memulai family farming sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pokok. Sehingga masyarakat dapat memenuhi konsumsinya secara mandiri.

“Misal kalau urban kan lahan sempit ya, bisa pemerintah yang membantu untuk fasum (fasilitas umum) yang nganggur dipakai masyarakat. Kalau nggak kerja, nggak papa lah. Tapi harus makan,” jelas Rumayya.(tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs