Sabtu, 23 November 2024

PVMBG: Tsunami Selat Sunda Belum Tentu Karena Aktivitas Anak Krakatau

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Ilustrasi. Asap hitam menyembur saat terjadi letusan Gunung Anak Krakatau (GAK) di Selat Sunda, Banten, Senin (10/12/2018). Foto: Antara

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) belum bisa memastikan apakah tsunami atau gelombang tinggi yang melanda kawasan pantai di Banten dan Lampung akibat aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau.

“Pertanyaannya apakah tsunami itu ada kaitannya dengan aktivitas letusan? Ini masih perlu pendalaman karena ada beberapa alasan untuk bisa menimbulkan tsunami,” ujar Wawan Irawan Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api PVMBG Badan Geologi di Bandung, sebagaimana dilansir Antara, Minggu (22/12/2018).

Berdasarkan alat perekam Badan Geologi, Wawan menjelaskan, kondisi Gunung Anak Krakatau tidak menunjukkan gejala peningkatan secara signifikan atau masih sama seperti hari-hari biasanya: secara visual teramati letusan dengan tinggi asap 300 sampai 1500 meter di atas puncak kawah.

Dari sisi aktivitas kegempaan, lanjut dia, terekam gempa tremor terus-menerus dengan amplitudo overscale 58 milimeter (mm). Sedangkan, catatan Geologi saat perekaman getaran tremor tertinggi yang terjadi sejak Juni 2018 tidak menimbulkan gelombang terhadap air laut, bahkan tsunami.

Alasan lain yang menjadi acuan PVMBG, material lontaran saat letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunung api masih bersifat lepas dan sudah turun saat letusan ketika itu.

“Untuk menimbulkan tsunami sebesar itu perlu ada runtuhan yang cukup besar yang masuk ke dalam kolom air laut. Dan untuk merontokan bagian tubuh yang longsor ke bagian laut diperlukan energi yang cukup besar, ini tidak terdeteksi oleh seismograf di pos pengamatan gunung api,” kata dia.

Berdasarkan data-data visual dan instrumental potensi bahaya dari aktifitas Gunung Anak Krakatau, saat ini lontaran material pijar dalam radius dua kilometer (km) dari pusat erupsi, sedangkan sebaran abu vulkanik tergantung dari arah dan kecepatan angin.

Dia mengatakan, hasil pengamatan dan analisis data visual maupun instrumental hingga 23 Desember 2018, tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau masih tetap Level II (Waspada). “Sehubungan status itu, kami rekomendasikan masyarakat tidak mendekati Gunung Krakatau dalam radius dua kilometer dari kawah,” kata dia.

Masyarakat di wilayah pantai Provinsi Banten dan Lampung dia harapkan tenang dan tidak mempercayai isu-isu tentang erupsi Gunung Anak Krakatau yang akan menyebabkan tsunami. Masyarakat dapat melakukan kegiatan seperti biasa dengan senantiasa mengikuti arahan BPBD setempat.

PVMBG Terjunkan Tim

Untuk memastikannya, PVMBG menerjunkan tim untuk meneliti penyebab tsunami atau gelombang tinggi yang terjadi di Selat Sunda. Wawan mengatakan, sebagai pendahuluan, PVMBG mengirimkan empat orang tim untuk mengetahui penyebab tsunami ini.

Dia mengatakan, tim itu akan melakukan pemantauan dengan merekam struktur morfologi Gunung Anak Krakatau. Hal ini ditujukan untuk melihat apakah ada yang berubah dari struktur Gunung Anak Krakatau atau tidak.

“Agak susah mencari kesimpulan mengenai data awal. Makanya kami akan mencari data itu terutama yang ada di permukaan, apakah longsoran terjadi di tebingnya atau apanya. Morfologi gunung akan diteliti,” kata dia.

Pada Sabtu itu, Wawan menegaskan, aktivitas Gunung Anak Krakatau seperti hari-hari sebelumnya. Secara visual, letusan dengan tinggi asap berkisar 300-1.500 meter di atas puncak kawah terlihat. Secara kegempaan, terekam gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm).

“Kami melihat, amplitudo tremor maksimum III. Itu makanya kami agak kaget pas malem, ada hubungannya dengan isu tsunami. Jadi untuk pembuktian aktifitas tsunami atau gelombang laut kami akan menunggu setelah tim kembali ke lapangan,” kata dia.

Sementara, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya menegaskan, tsunami di Selat Sunda yang menerjang sejumlah daerah di Banten dan Lampung pada Sabtu (22/12/2018) malam disebabkan oleh dua faktor.

Rachmat Triyono Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG mengatakan, bencana alam itu disebabkan dua faktor. Pertama, karena gelombang pasang dengan ketinggian sekitar 1,5-2,5 meter yang diperkirakan terjadi akibat gaya gravitasi bulan, di sejumlah perairan Indonesia, termasuk Selat Sunda.

Faktor kedua yang diduga membuat gelombang air laut bertambah tinggi hingga menerjang daratan adalah erupsi Gunung Anak Krakatau.

BMKG mengaku awalnya sempat ragu mengumumkan terjadinya tsunami karena alat pendeteksi tsunami tidak menunjukkan adanya gempa tektonik sebagai pemicu. Sesudah melihat data erupsi Gunung Anak Krakatau, BMKG pun yakin kalau yang terjadi adalah tsunami.

“Awalnya memang kami sempat ragu karena air yang naik ke daratan itu bukan akibat gempa bumi, tapi faktor lain yang kami duga aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar Minggu (23/12/2018), di Kantor BMKG, Jakarta.

Rahmat juga menyebut, BMKG tidak punya alat pendeteksi tsunami yang disebabkan aktivitas vulkanik.(ant/den)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
33o
Kurs