Sabtu, 23 November 2024

Alat Deteksi Dini Tsunami di Indonesia Cuma Mendeteksi Akibat Tektonik, Bukan Vulkanik

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Buoy, alat pendeteksi tsunami yang digunakan di Indonesia yang hanya mendeteksi tsunami akibat aktivitas tektonik bukan vulkanik. Foto: BMKG

Sutopo Purwo Nugroho Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengatakan, sampai saat ini, Minggu (23/12/2018), sejumlah pihak terkait seperti BMKG, PVMBG, BPPT, KKP serta pihak lainnya masih melakukan analisa dan kajian soal penyebab terjadinya tsunami di Selat Sunda.

BNPB menengarai, kombinasi antara longsor bawah laut akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau dan pasang laut akibat bulan purnama menjadi pemicu terjadinya tsunami Selat Sunda. “Itu masih dugaan, untuk kepastiannya sejumlah pihak masih melakukan analisa dan kajian,” katanya saat memberikan keterangan pers di Yogyakarta, sebagaimana dilansir Antara, Minggu (23/12/2018).

Sutopo mengatakan, pada saat terjadi tsunami, aktivitas Gunung Anak Krakatau yang sudah meletus sejak Mei tidak terlalu besar. Data yang dia dapatkan, Gunung Anak Krakatau sebelumnya sempat mengalami letusan yang lebih besar beberapa bulan lalu, tapi hal itu tidak menyebabkan tsunami. Sebab itulah, analisa lebih lanjut perlu dilakukan.

Soal tidak adanya peringatan dini tsunami di Selat Sunda, Sutopo menyatakan bahwa peralatan peringatan dini tsunami yang ada di Indonesia memang hanya memberikan peringatan terjadinya tsunami yang dipicu aktivitas tektonik atau gempa besar. Tsunami yang dipicu penyebab lain seperti longsor bawah laut, tidak terbaca oleh sensor yang terpasang.

“Karena itulah tidak ada peringatan dini apapun yang disampaikan,” katanya. Karena sebab inilah juga, BNPB sempat menyatakan, tsunami di Selat Sunda hanya berupa hempasan gelombang pasang sesuai informasi dari BMKG karena pada saat kejadian sedang bulan purnama.

Namun, BMKG meralat informasi itu pada Minggu dini hari sekitar pukul 01.30 WIB. Informasi yang sudah diralat oleh BMKG itu menyatakan, kejadian di pantai barat Banten dan Lampung Selatan adalah tsunami, bukan hempasan gelombang pasang.

“Kami pun harus melakukan koreksi dari pernyataan yang sudah kami sampaikan. Namun, tsunami di Selat Sunda ini adalah tsunami lokal dan tidak akan meluas ke wilayah lain,” katanya.

Rahmat Triyono Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG sebelumnya menyampaikan hal senada. Dia mengatakan, sistem peringatan dini tsunami yang dimiliki BMKG memang khusus untuk memantau gempa bumi yang diakibatkan aktivitas tektonik atau gempa bumi, bukan vulkanik.

“Karena ini dipastikan akibat vulkanik, maka tidak ada early warning,” kata Rahmat Triyono. Apalagi, kata dia, tsunami di Banten dan Lampung terjadi malam hari, sehingga secara visual aktivitas gunung Anak Krakatau tidak bisa dilihat. Bila aktivitas itu terjadi siang hari, erupsi bisa dilihat.

BMKG, katanya, sudah berkoordinasi dengan Badan Geologi sejak Sabtu malam. Namun, sensor Badan Geologi untuk memantau aktivitas Gunung Anak Krakatau juga sedang rusak akibat erupsi sebelumnya, sehingga aktivitas tersebut tidak tercatat.

Dia memastikan, dari sensor yang ada di Pulau Sertung, tercatat terjadinya erupsi Gunung Anak Krakatau Sabtu malam pukul 21.03 WIB. “Sensor kami di Cigeulis Pandeglang juga mencatat ada usikan. Jadi kesimpulannya, ini memang akibat aktivitas vulkanik,” ujar Rahmat.

Rahmat menjelaskan, tsunami hanya terjadi jika ada gempa besar, longsoran, atau kejadian lain seperti letusan gunung api di bawah laut yang menyebabkan perpindahan sejumlah besar air laut. Sebab itulah penyebab tsunami di Pandeglang, Serang dan Lampung Selatan itu masih diteliti oleh Badan Geologi.

Siaran Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di laman resminya menyebutkan, pusat vulkanologi merekam adanya gempa tremor terus-menerus dengan amplitudo overscale 58 milimeter (mm) dan letusan Gunung Anak Krakatau pada Sabtu malam pukul 21.03 WIB.

Meski demikian, saat ini PVMBG masih mendalami kaitannya dengan tsunami yang terjadi di Selat Sunda. Data PVMBG juga menyebutkan, Gunung Anak Krakatau pada 22 Desember 2018 teramati mengalami letusan dengan tinggi asap berkisar antara 300 sampai dengan 1.500 meter di atas puncak kawah.

Data rekaman PVMBG menunjukkan, getaran tremor tertinggi yang terjadi sejak bulan Juni tidak menimbulkan gelombang air laut bahkan hingga tsunami. Material lontaran saat letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunungapi masih bersifat lepas dan sudah turun saat letusan ketika itu.

Jusuf Kalla Wakil Presiden membantah terjadinya perbedaan pernyataan kedua badan itu. Alasannya, keduanya melihat dari sudut pandang berbeda. BMKG memberikan pernyataan berdasarkan sebab bencana tsunami itu, sementara BNPB mengamati akibat dari bencana itu.

“Saya kira tidak ada perbedaan. BNPB hanya melihat akibatnya, kalau BMKG itu menganalisa sebabnya. Jadi BNPB hanya akibatnya, yang satu (BMKG) sebabnya,” katanya usai memimpin rapat penanggulangan tsunami di VVIP Room Lanud Halim Perdanakusuma Jakarta, Minggu (23/12/2018) siang.

Wapres mengatakan, bencana alam tsunami di Selat Sunda adalah kejadian yang tidak biasa terjadi. Gelombang tsunami terjadi tanpa didahului gempa bumi.

“Saya sudah berbicara dengan Kepala BMKG dan (Badan) Geologi. Ini kasus yang tidak biasa, tsunami tanpa gempa. Jadi gejalanya ada kemungkinan dari perubahan atau letusan Gunung Anak Krakatau,” ujar JK.

Berkaitan dengan korban akibat tsunami di Selat Sunda, sampai Minggu sore pukul 16.00 WIB BNPB mencatat ada sebanyak 222 orang meninggal, 843 orang luka-luka, dan 28 orang belum ditemukan. Sedangkan kerusakan material meliputi 556 unit rumah rusak, 9 unit hotel rusak berat, 60 warung kuliner rusak, 350 kapal dan perahu rusak. Data ini, menurut BNPB, masih bisa bertambah.(den)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
33o
Kurs