Dukung realisasi net zero emission yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) melalui co-firing PLTU, tim Pengabdian Masyarakat (Abmas) Pusat Kebijakan Publik, Bisnis dan Industri (PKPBI) ITS gelar Focus Group Discussion (FGD) secara daring berikan masukan dan bertukar pikiran terkait co-firing PLTU memanfaatkan potensi Bambu.
FGD bekerja sama dengan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur. Diskusi ini memusatkan perhatian pada peran perguruan tinggi dalam mendukung realisasi pemerintah dalam menjalankan NDC melalui co-firing biomassa pada PLTU batubara.
Hadir sebagai pemateri Teguh Widjayanto MT., perwakilan dari PT PJB, Ir Rohmadi Ridlo MEng., peneliti BPPT RI dan Ir Toat Tridjono MSi., perwakilan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur. Selain itu, sebagai penanggap dihadirkan Ary Bachtiar PhD., dosen Teknik Mesin ITS dan IIDA Warmadewanthi PhD., dosen Teknik Lingkungan ITS.
Teguh Widjayanto menjelaskan, PJB ini merupakan sebuah anak perusahaan Pembangkit Listrik Negara (PLN), produsen listrik yang menyuplai kebutuhan listrik di Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali. Saat ini PT PJB mengelola enam Pembangkit Tenaga Listrik di Pulau Jawa, dengan kapasitas total 6.511 Megawatt dengan total listrik yang telah dikelola sebesar 20.941 Megawatt.
PT PJB mendukung penuh realisasi net zero emission melalui co-firing PLTU tersebut. Pemerintah sedang mempersiapkan program penurunan emisi di subsektor pembangkitan tenaga listrik dengan menghentikan pengoperasian PLTU batubara sebesar 53 GW antara tahun 2025-2045.
“Dari sinilah terlintas ide dan masukan untuk menggunakan potensi bambu dalam mendukung co-firing PLTU,” papar Teguh Widjayanto, Rabu (28/7/2021).
Hingga akhir tahun 2019, persebaran Energi Baru Terbarukan (EBT) mencapai 9,15 persen, di mana 6,2 persen berasal dari PLT EBT dan 2,95 persen berasal dari BBN (biodiesel). Sementara, pada tahun 2025 persebaran EBT ditargetkan 23 persen, di mana PLT EBT ditargetkan memberikan porsi sebesar 13-15 persen, PLT Bioenergi 2-5 persen, dan BBN 2-3 persen.
Pengembangan biomassa yang akan dioptimalkan antara lain bersumber dari pohon bambu yang merupakan bagian dari tanaman energi. “Kita akan upayakan untuk bisa melakukan co-firing dengan biomassa pada pembangkit di PLTU dan mudah-mudahan bisa kita kejar target paling tidak 1-3 persen di tahun 2025,” tambah Teguh.
Sementara Rohmadi Ridlo mengungkapkan, co-firing ini digunakan sebagai substitusi batubara dengan biomassa pada rasio tertentu sebagai bahan bakar dengan tetap memperhatikan kualitas dan efisiensi pembangkit listrik. Di berbagai negara, khususnya yang menetapkan kebijakan pemanfaatan EBT yang lebih optimal, teknik ini digunakan untuk mengurangi penggunaan energi fosil, serta mendukung kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).
Dipaparkan peneliti yang akrab disapa Ridlo ini, untuk menunjang penerapan co-firing salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menyiapkan ketersediaan sumber daya biomassa dalam jumlah besar. Biomassa yang cukup potensial di Indonesia adalah bambu. Namun, masih perlu dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai potensi bambu untuk mendukung co-firing pada Pembangkit Listrik Jawa Bali di pantai utara (Pantura).
Toat Tridjono, berkaitan dengan co-firing dengan Bambu, potensi volume bambu saat ini mencapai 10,4 juta ton Bambu dengan asumsi bahwa potensi bambu adalah 5 ton per hektare atau 7,5 kilogram per rumpun atau 133 rumpun per ton. “Karena banyaknya potensi Bambu dan degradasi volume air yang terkandung sangat sedikit, maka memudahkan untuk dijadikan bahan co-firing,” jelas Toat.
Keberadaan ITS sebagai perguruan tinggi paling inovatif di Indonesia, lanjut Toat, dapat menjadi pelecut bagi perguruan tinggi lain untuk terus melakukan riset dan inovasi demi kemajuan bangsa.
“Besar harapan saya, ITS dapat menjadi pioner inovasi bidang sains dan teknologi di Indonesia guna menjawab EBT di Indonesia,” tutur Toat.
Selain itu, Toat menambahkan bahwa perlu diatur pula jaminan bahwa kegiatan inovasi dan riset bisa mendapatkan dana yang cukup dari pemerintah. “Sehingga tidak ada lagi yang namanya kegagalan riset karena kekurangan dana,” kata Toat.
Pada akhir pemaparan, IIDA Warmadewanthi PhD selaku perwakilan dari ITS mengatakan bahwa luaran dari FGD ini akan diterjemahkan sebagai respon perguruan tinggi dalam menjamin keberlanjutan FGD.
“Melalui laporan serta dokumentasi dan akan dipublikasikan dalam jurnal untuk dapat dijadikan salah satu referensi dalam menentukan kebijakan, khususnya dalam penerapan co-firing,” pungkas Wawa sapaan IIDA Warmadewanthi PhD.(tok/ipg)