Sabtu, 23 November 2024

Peliknya Mencari Plasma Konvalesen, Sudah Bayar tapi Tak Kunjung Dapat

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Donor plasma Konvalesen di UDD PMI Surabaya, dilakukan penyintas. Foto: Totok suarasurabaya.net

Setiap hari, sedikitnya ada dua puluh pendengar yang menyampaikan permintaan bantuan plasma konvalesen di Gate Keeper Radio Suara Surabaya. Sebagian mengabarkan, akhirnya dapat plasma darah yang sesuai, sebagian lagi tidak memberikan kabar kelanjutannya. Hampir setiap hari pula PMI Kota Surabaya menginformasikan bahwa stok plasma konvalesen kosong. Padahal antreannya semakin panjang.

Satu di antaranya adalah Felix Charles, pendengar Radio Suara Surabaya yang kesulitan mendapatkan donor plasma konvalesen untuk ayahnya yang sedang menderita Covid-19. “Saya sudah membayar Rp4 juta rupiah ke Rumah Sakit RKZ untuk dua kantong plasma konvalesen. Saya sudah empat hari bolak-balik ke PMI tapi sampai hari ini belum dapat,” kata Felix, Selasa (20/7/2021) pagi.

Menanggapi laporan itu, dr. Martono Adi Kabag Pelayanan dan Humas Unit Tranfusi Darah PMI Kota Surabaya mengakui, kemampuan PMI Kota Surabaya mengolah darah pendonor memang belum sebanding dengan permintaan plasma konvalesen dari masyarakat. Setidaknya ada 100 permintaan plasma konvalesen per hari yang masuk ke PMI Kota Surabaya, sedangkan kemampuan PMI hanya 40 kantong per hari.

“Karena tingginya angka Covid-19 di Surabaya, ada beberapa permintaan yang tidak bisa langsung kami layani. Bisa sampai tiga hari baru bisa dilayani,” kata dr. Martono.

Sedangkan per hari ini, antrean permintaan plasma konvalesen sudah mencapai 500 orang. Bahkan sebelumnya pernah mencapai 600 permintaan.

Soal pernyataan Felix bahwa dia sudah membayar Rp4 juta uang untuk dua kantong plasma konvalesen, dokter Martono menyatakan, PMI Surabaya memang menetapkan biaya untuk setiap kantong plasma konvalesen secara resmi. Yakni sebesar Rp2.250.000 per kantong plasma konvalesen yang dibebankan kepada rumah sakit. Bahkan bila pasien membawa pendonor sendiri, rumah sakit juga tetap membayar sebesar itu.

“Plasmanya tidak dijual, tapi biaya ini untuk mengganti kantong dan pemeriksaan. Harga kantongnya saja dua juta rupiah,” kata dr. Martono. “Jadi biaya itu biasanya yang menanggung rumah sakit, kalau rumah sakit rujukan, nanti biayanya diklaim ke Kementerian Kesehatan. Kalau bukan rumah sakit rujukan, sepertinya ditanggung pasien”.

Dia menjelaskan, untuk menyimpan plasma konvalesen memang diperlukan kantong khusus. Tidak bisa menggunakan kantong darah biasa yang harganya memang jauh lebih terjangkau. “Kantong untuk apheresis ini harus impor. Berbeda dengan kantong untuk darah biasa yang harganya 100 ribu rupiah per kantong,” ujarnya.

Sebenarnya, kata Martono, PMI juga masih harus mengeluarkan biaya screening sekitar Rp500 ribu untuk setiap calon pendonor yang belum tentu lolos screening, yang selama ini juga tidak pernah dibebankan kepada pendonor.

“Semisal ada empat calon pendonor untuk satu pasien, setelah sampel darahnya kami periksa, belum tentu semua bisa mendonorkan plasmanya. Bisa jadi hanya satu yang lolos. Calon pendonor tidak mungkin kami kenai biaya screening,” kata dia.

Suara Surabaya berupaya mengklarifikasi pengakuan Felix bahwa dirinya sudah membayarkan uang Rp4 juta ke RKZ untuk dua kantong plasma konvalesen. Karena RKZ merupakan rumah sakit rujukan dan sesuai penjelasan dokter Martono, seharusnya biaya plasma konvalesen itu dijamin pemerintah pusat.

Dokter Agung Humas RS Katolik St. Vincentius A. Paulo (RKZ) menjelaskan, memang tidak semua pasien Covid-19 di rumah sakit rujukan biaya perawatannya menggunakan jaminan pemerintah atau Kementerian Kesehatan. Termasuk plasma konvalesen.

“Ada pasien yang memilih memakai asuransi karena ingin menggunakan klaim asuransinya. Ada yang mau membayar sendiri karena memang mampu,” kata dokter Agung.

Kebijakan pemerintah terkait jaminan biaya pelayanan pasien Covid-19, kata dokter Agung, selama ini masih berubah-ubah. Pemerintah baru secara jelas mengatur penggantian biaya plasma konvalesen untuk pasien Covid-19 melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/4344/2021 mulai 20 April 2021 lalu.

Jaminan pemerintah juga tidak serta merta menanggung perawatan untuk semua pasien Covid-19. Dokter Agung mengatakan, ada syarat-syarat yang berlaku. Misalnya, pemerintah tidak mengganti biaya perawatan untuk pasien tanpa gejala karena seharusnya isolasi mandiri. (iss/den)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
31o
Kurs