Sabtu, 23 November 2024

Epidemiolog Jelaskan Mengapa Vaksinasi Tetap Perlu Meski Varian Baru Bermunculan

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Seorang pekerja medis menyiapkan dosis vaksin Covid-19 AstraZeneca di pusat vaksinasi. Foto: ndtv.com

Hingga saat ini, virus corona terus bermutasi dan varian barunya masih bermunculan. Mulai dari varian Alpha yang ditemukan di Inggris, varian Beta di Afrika Selatan, varian Gamma di Brazil hingga varian Delta di India, yang saat ini memicu kenaikan angka Covid-19 hampir di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia.

Di Indonesia, kasus positif Covid-19 bertambah sebanyak 20.574 orang pada Kamis, 24 Juni 2021. Ini menjadi rekor angka tertinggi kasus harian Covid-19 di dalam negeri.

Pemerintah Indonesia terus menggalakkan vaksinasi massal dengan menargetkan dua juta dosis tiap hari mulai semester kedua tahun ini. Sedangkan yang terjadi saat ini, efikasi vaksin terhadap varian Delta mengalami penurunan hingga di bawah 50 persen. Hal ini pernah diakui oleh peneliti Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman dan Satgas Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI).

Meski begitu, masyarakat diminta untuk tetap melakukan vaksinasi sebagai bentuk proteksi dari risiko penularan Covid-19. Dr dr M Atoillah Isfandiari MKes Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengatakan, berbeda dengan varian sebelumnya, varian Delta memang lebih lebih kebal menghadapi antibodi tubuh.

“Untuk Delta, dikatakan virusnya punya kemampuan immune escape atau lari dari antibodi. Virusnya bisa main petak umpet, emang varian Delta ini vaksin yang ada masih diragukan efikasinya,” kata Atoillah kepada Radio Suara Surabaya, Jumat (25/6/2021).

Meski begitu, vaksinasi tetap diperlukan karena kita tidak mengetahui pasti, varian mana yang bisa masuk ke tubuh kita.

Kedua, karena varian baru yang muncul adalah hasil mutasi dari virus corona sebelumnya, bukan virus baru yang secara tiba-tiba terbentuk. Maka besar kemungkinan masih ada bagian dalam virus tersebut yang sensitif oleh vaksin.

“Tapi masalahnya, saat ini yang kita hadapi bukan variannya ganti total, hanya saya variannya baru. Jadi mau vaksin apapun, yang kita kurangi adalah risiko terinfeksi varian yang sensitif dengan vaksin. Kita mengurangi risiko itu. Bukannya karena efikasi tidak bagus, lantas nggak vaksin,” tegasnya.

Apalagi, vaksin yang beredar saat ini adalah vaksin yang sudah teruji aman dan kemanjurannya karena melewati prosedur yang ketat dan dilaporkan oleh Badan Kesehatan Dunia WHO dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Indonesia.

Namun Atoillah menyadari bahwa literasi soal virus dan vaksin Indonesia masih rendah. Sehingga memunculkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap vaksinasi dan membuat mereka mudah terpapar informasi bohong lalu menolak vaksin.

Menurut Atoillah, fenomena itu bisa dipahami. Karena selama ini, yang terjadi di masyarakat adalah kesenjangan pengetahuan kesehatan, dan informasi yang tidak utuh sejak pandemi terjadi. Sehingga masyarakat cenderung mengeluarkan asumsi-asumsi mereka sendiri.

“Karena kesenjangan pengatahuan sangat tinggi, khususnya pengetahuan kesehatan. Sementara, edukasi ke masyarakat itu langsung to the point, sehingga ada ruang kosong di edukasi itu dan membuat masyarakat menduga-duga sendiri,” kata Wakil Dekan II Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair itu.

Agar masyarakat mau divaksin, Atoillah mengatakan salah satu caranya adalah dengan mensosialisasikan vaksinasi Covid-19 secara utuh dengan bahasa yang mudah mereka pahami. Karena fenomena covid yang melanda dunia seperti saat ini, adalah hal baru bagi mereka.

“Dalam kasus kabar hoaks seperti vaksin dipasang chips, kita mungkin tertawa. Tapi harus dipahami pemahaman masyarakat berbeda dengan kita tenaga kesehatan yang sudah tahu virus itu bagaimana, penyebarannya bagaimana. Ini hal baru makanya edukasi harus telaten dengan bahasa dan tata cara masyarakat yang mudah dipahami,” imbuhnya.(tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs