Rumah HOS Tjokroaminoto merupakan indekos Sukarno selama menempuh pendidikan di Hogere Burger School (HBS) Surabaya. Dalam kurun 6 tahun, Sukarno menjadi anak didik Tjokroaminoto dalam rumah yang disebutnya indekos. Selama tinggal di rumah tersebut, Sukarno belajar banyak dari teman-teman satu atapnya. Kala itu, ia menjadi anak kecil yang memasang telinga lebar-lebar ketika para pemuda sedang berbincang mengenai nasib orang-orang bumiputra. Terlebih ia banyak belajar dari Tjokroaminoto
Hal ini diungkapkan oleh Bonnie Triyana, seorang sejarawan dan pemred Historia, pada acara talkshow dan musik yang digelar oleh Badan kebudayaan Nasional Pusat (BKNP) PDI Perjuangan, Kamis (3/6/2021)
“Nah dia tinggal disana itu bersama beberapa orang, yang saya masih ingat, ada Hermen Kartowisastro yang kemudian jadi Duta Besar di masa kemerdekaan, ada Suarli, Alimin dan lain-lain. Itulah masa penting bagi Bung Karno di dalam pendidikan politiknya dari tokoh Sarikat Islam yang terkemuka dan terkenal waktu itu,” jelas Bonnie.
Tinggalnya Sukarno di rumah Tjokroaminoto bukanlah sebuah kebetulan. Bapaknya, Soekemi Sosrodihardjo adalah teman dekat Tjokroaminoto dan mengenal betul tokoh bangsa tersebut. Ia ingin putra satu-satunya itu berguru pada salah satu pemimpin bangsa yang diakui para penjajah.
“Setelah ia lulus dari HBS 1916 dia ke surabaya. Dan di Surabaya ini, ayahnya Soekarno, Soekemi berteman baik dengan tokoh Sarikat Islam Haji Omar Said Tjokroaminoto. Karena perkawanan baik inilah kemudian Soekarno ngekos di rumahnya Pak Tjokro,” lanjut Bonnie
Kemudian seorang sejarawan itu memaparkan, bahwa HOS Tjokoraminoto merupakan tuan rumah sekaligus pembimbing bagi Bung Karno dan sejumlah tokoh nasional lain ketika mereka mengenyam pendidikan di Surabaya. Di tempat ini pula, presiden pertama Republik Inonesia ini bertemu tokoh-tokoh penting nasional.
Di antara tokoh-tokoh penting Indonesia yang pernah tinggal di rumah ini adalah Sukarno, Semaun, Alimin, Darsono, Tan Malaka, Musso hingga Kartosoewirjo. Siapa yang tak mengenal tokoh-tokoh besar itu. Mereka adalah para pejuan kemerdekaan yang namanya harum dan diabadikan dalam buku-buku sejarah serta dipelajari rekam jejaknya.
Masing-masing dari mereka memiliki latar belakang dan ideologi yang berbeda, namun di salah satu rumah di Surabaya itu mereka belajar dengan rukun pada satu guru, yaitu kepada Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Selama di rumah tersebut Sukarno digembleng pemikirannya oleh Tjokroaminoto. Ia dicekoki buku-buku, buku apa pun. Buku-buku ini pun menjadi penyelamat Sukarno muda dari hari-harinya yang begitu nelangsa. Pemikiran ini pun terus diolah dengan diskusi-diskusi bersama para “mahaputra”, sebutan Sukarno bagi senior-seniornya. Ia belajar bahwa pemikiran bukan hanya untuk disimpan melainkan diamalkan.
Tak hanya itu, lanjut Bonnie, disamping pengalaman tentang pendidikan politik bagi Soekarno, ternyata ada kisah lucu dan menarik juga yang berangkali orang jarang mengetahuinya. Ketika Soekarno, Hermen, dan Suarli mencari hiburan dengan mengikuti lomba panah dan ternyata mereka menang dan mendapatkan hadiah se ekor kuda tua. Menariknya, kuda tua ini mereka bawa melewati ruang tengah rumah Tjokroaminoto.
“Dan dalam istilahnya Bung Karno dalam autobiografinya dia bilang, anda bayangkan kepada Cindy Adams, kami membawa se ekor kuda tua melewati rumah Raja Jawa tanpa mahkota. Jadi pak Tjokro itu di sebutnya sebagai Raja Jawa tanpa mahkota, pemimpin besar Sarikat Islam,” pungkas Bonnie.(faz/tin/iss)