Hari Preeklampsia Dunia atau World Preeclampsia Day jatuh pada hari ini, Sabtu (22/5/2021). dr Agus Sulistyono Ketua Divisi Kedokteran Fetomaternal Surabaya menegaskan World Preeclamsia Day bukan untuk memperingati dengan senang-senang, tetapi justru memperingati dalam keprihatinan.
“Kami menganggap serius masalah ini dari tahun ke tahun, demikian juga para dokter kandungan di seluruh dunia. Kami berharap para ibu hamil beserta pasangan dan keluarganya juga lebih menyadari bahayanya dengan mengenali gejalanya dan terbuka pada dokter kandungannya mengenai masalah kesehatan yang dialami. Dengan demikian, diharapkan kita bersama-sama bisa lebih meningkatkan awareness dan segera bergerak (act now, screen now) untuk mencegah terjadinya preeklampsia ini,” jelasnya dalam diskusi edukasi virtual mengenai preeklampsia pada ibu hamil, Jumat (21/5/2021) kemarin.
Dilansir dari laman halodoc.com, preeklamsia adalah kondisi yang terjadi dan akibat dari tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol pada ibu hamil. Jika tidak langsung ditangani, kondisi preeklamsia dapat berkembang menjadi eklampsia dan memiliki komplikasi yang fatal baik bagi ibu maupun bagi janinnya. Penyebab dari preeklamsia dapat dihubungkan kepada beberapa faktor. Para ahli mempercayai bahwa preeklampsia disebabkan oleh plasenta.
dr Agus Sulistyono yang juga Ketua Penurunan Angka Kematian Ibu Surabaya (PENAKIB) menjelaskan, preeklampsia atau kondisi hipertensi (meningkatnya tekanan darah) yang terjadi pada saat kehamilan kadang dikenal juga dengan nama toxemia gravidarum atau keracunan kehamilan. Meskipun penyebab pasti belum dapat dijelaskan namun preeklampsia sering dihubungkan dengan adanya permasalahan plasenta. Oleh karena itu, preeklampsia terjadi pada paruh akhir kehamilan (di atas 20 minggu) atau setelah plasenta terbentuk di dalam rahim hingga 6 minggu setelah melahirkan.
Meskipun tidak semua mengenalinya, sebenarnya preeklampsia ini terjadi pada lebih dari 10 juta wanita di seluruh dunia dan berdampak pada lebih dari 2,5 juta persalinan preterm (persalinan sebelum masanya).
Data dari International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy dan Preeclampsia Foundation, mencatat bahwa pre-eklamsia mengakibatkan kematian ibu hingga sekitar 76 ribu disertai kematian 500 ribu bayi setiap tahunnya. Artinya, sekitar 10 persen atau 1 dari 10 ibu hamil ini akan mengalami preeklampsia dan 20 persen dari yang terdampak preeklampsia ini akan berhubungan dengan terjadinya persalinan preterm.
Kondisi di negara berkembang seperti Indonesia juga tidak terkecuali mendapatkan dampak yang cukup berat akibat preeklampsia. Salah satu penelitian di RS rujukan tersier Surabaya menunjukkan tingginya prevalensi preeklampsia hingga 21 persen.
Yang lebih berat lagi, ditemukan kondisi komplikasi organ yang cukup berat yaitu penumpukan cairan di paru-paru hingga 5,6 persen kasusnya atau 2 kali lipat dari laporan negara lain.
“Ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanganan preeklampsia di negara kita masih belum baik sehingga masih sering ditemui kasus preeklampsia dalam kondisi yang sudah buruk,” ungkapnya.
Tindakan kesehatan yang paling penting dan memiliki dampak signifikan adalah prevensi atau pencegahan. Peningkatan edukasi kesehatan di bidang kehamilan ini dapat menjadi upaya pencegahan terjadinya preeklampsia sebagai salah satu komplikasi kehamilan yang berat.
Dokter Agus mencontohkan upaya pencegahan ini telah dibuktikan di Surabaya melalui program Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi (PENAKIB) dimana dengan menerapkan skrining preeklampsia secara masif di layanan kesehatan dapat menurunkan angka kematian Ibu dari 60 kasus di tahun 2012 hingga hanya 25 kasus di tahun 2019, total kematian karena preeklampsia juga dapat ditekan dari 18 kasus menjadi hanya 10 kasus.
Ia menegaskan, upaya pencegahan ini akan semakin berhasil jika pengetahuan dan awareness ini, juga diketahui oleh bumil ataupun pasangan usia subur dan keluarganya, sehingga bagaimana melakukan persiapan kehamilan, mengetahui apa potensi bahaya kehamilan seperti preeklampsia ini dapat dicegah dan diminimalisir dampaknya.
“Dengan memahami potensi bahaya yang dapat terjadi pada setiap kehamilan, kita bersama dapat meningkatkan kewaspadaan dan berjuang bersama untuk menurunkan angka kematian Ibu di Indonesia,” katanya. (man/tin/ipg)