Agus Machfud Fauzi Sosiolog Politik Universitas Negeri Surabaya (Unesa) angkat bicara mengenai tradisi mudik yang sudah dua tahun ini “berbeda” karena pandemi Covid-19. Pada lebaran Idulfitri 1442 H kali ini, pemerintah jauh-jauh hari telah mengeluarkan aturan soal larangan mudik. Namun, ‘kucing-kucingan’ antara pemudik dan petugas yang berjaga di posko penyekatan tetap saja terjadi.
Agus mengingatkan, pada dasarnya saat Idulfitri 1441 H lalu, masyarakat Indonesia sudah mulai menerima bahwa silaturahmi lebaran tidak harus dengan bertemu langsung. Sehingga mereka lebih banyak memanfaatkan sosial media dan fitur chat online sebagai bentuk silaturahmi baru untuk menyapa sanak keluarga.
Namun, karena regulasi yang tidak konsisten dan aturan yang tidak sinergis, membuat sebagian dari mereka bisa mendapatkan celah untuk tetap mudik. Kejadian ini membuat masyarakat lain yang awalnya patuh untuk tidak mudik, menjadi berpikir ulang. Akhirnya pada Lebaran kali ini, masyarakat yang nekat mudik masih saja terjadi.
“Sebenarnya masyarakat sudah welcome (menerima), tapi ketika regulasi tidak konsisten, tidak ada sinergisitas antara aturan yang dibuat pemerintah pusat dengan daerah, membuat sebagian curi-curi pulang kampung. Hal itu menjadi orang lain ‘loh itu kok bisa’ padahal mereka udah welcome silaturahmi (memanfaatkan) medsos,” jelasnya kepada Radio Suara Surabaya, Jumat (7/5/2021).
Agus juga melihat, banyak terjadi pelonggaran di beberapa titik penyekatan pada Lebaran 2020 lalu. Akhirnya, masyarakat berasumsi bahwa pada Lebaran 2021 masih ada celah mudik layaknya pengalaman sebelumnya. Hal itu lah yang menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat yang nekat mudik masih terus ada meski ada pelarangan.
“Nah pikiran mereka yang ingin taat jadi berpikir ‘wah, paling seperti kemarin’. Jadi istilah ‘kucing-kucingan’ sudah tepat apalagi jalur di sebuah daerah, utamanya jalan kecil-kecil, peluang itu ada,” tambahnya.
Agus menjelaskan mudik memang budaya yang sulit dilepaskan dari ritual tahunan masyarakat. Apalagi dengan kultur sosial masyarakat Indonesia yang bersifat kolektif, akhirnya membuat mereka butuh setidaknya setahun sekali untuk mengunjungi orang tua dan sanak keluarga dan bersilaturahmi.
Mudik sendiri terjadi karena adanya gelombang urbanisasi dari desa ke kota. Sehingga, mereka yang berada di kota, selalu memiliki keinginan untuk kembali ke kampung halaman. Mereka ingin kembali ke masa lalu karena masa lalu itu dianggap sebagai kehidupan yang ideal.
“Jadi mereka pasti teringat masa kecil. Meski bisa saja masa kecil hanya sebagian kecil dan lebih lama waktu saat mereka bekerja di kota, tapi momen di masa kecil itu adalah momen yang paling diingat, beserta tempat dan lingkungan dimana ia dibesarkan itu akan selalu terkenang,” tambahnya.
Itulah yang membuat mudik menjadi ritual tahunan yang menyenangkan. Mengunjungi dan berkumpul dengan keluarga dan kerabat, berbagi dengan tetangga, sekaligus menjadi kesenangan tersendiri karena seolah-olah bisa menengok kembali kenangan di masa kecilnya. Menurut Agus, hal itu lah yang tidak mereka dapatkan saat mereka berpindah dari kampung halaman.
Meski mudik adalah sesuatu yang menyenangkan, namun Agus menyarankan masyarakat untuk mampu menahan keinginan itu. Mengingat pandemi Covid-19 hingga saat ini belum selesai dan berkumpul dengan banyak orang dapat menimbulkan potensi penyebaran Covid-19 yang tak terkendali.
“Nah lebaran kedua di masa pandemi ini apa yang diharapkan pemerintah sebenarnya bagus diikuti, apalagi pandemi Covid belum selesai. Mending di rumah saja. Media sosial misalnya bisa dimanfaatkan untuk bersilaturahmi,” imbuhnya.(tin/ipg)