Sabtu, 23 November 2024

MK: KPK Tidak Perlu Izin Dewan Pengawas untuk Menyadap

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi. Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: Farid suarasurabaya.net

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu meminta izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan untuk kepentingan penyidikan mau pun penuntutan.

Hal itu merupakan pertimbangan dalam putusan perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019 mengenai uji materiil Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), yang dibacakan Aswanto Hakim Konstitusi, dalam persidangan, Selasa (4/5/2021).

MK mengabulkan sebagian uji materiil UU KPK, dan menolak secara keseluruhan gugatan uji formil.

Gugatan dengan nomor perkara 70/PUU-XVII/2019 diajukan Fathul Wahid, Abdul Jamil, Eko Riyadi, Ari Wibowo dan, Mahrus Ali.

Para pemohon mengajukan gugatan formil dan gugatan materiil terhadap sejumlah pasal dalam UU KPK di antaranya Pasal 1 angka 3, Pasal 3, Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 24, Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 40, Pasal 45A ayat (3) huruf a, dan Pasal 47 ayat (1).

Menurut MK, penyadapan yang dilakukan Penyidik/Pimpinan KPK tidak memerlukan izin Dewan Pengawas. Tapi, cukup dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas.

Aswanto mengatakan, tindakan penyadapan sebetulnya memang sangat terkait dengan hak privasi seseorang. Maka dari itu, penggunaannya harus dengan pengawasan yang cukup ketat.

Artinya, tindakan penyadapan yang dilakukan KPK tidak boleh digunakan tanpa kontrol atau pengawasan.

Tapi, kontrol itu bukan dalam bentuk izin yang berkonotasi ada intervensi dalam penegakan hukum oleh Dewan Pengawas kepada Pimpinan KPK, atau seolah-olah Pimpinan KPK menjadi subordinat dari Dewan Pengawas.

Selain itu, MK menegaskan, kewajiban untuk mendapatkan izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan bentuk campur tangan atau intervensi lembaga yang melaksanakan fungsi di luar penegak hukum terhadap aparat penegak hukum .

“Itu merupakan bentuk nyata tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum, khususnya kewenangan pro justicia yang seharusnya hanya dimiliki oleh lembaga atau aparat penegak hukum,” sebut Aswanto.

Dia menambahkan, tindakan penegakan hukum yang mengandung upaya-upaya paksa adalah tindakan yang cuma bisa dilakukan lembaga penegak hukum yang secara kelembagaan tertata dalam pelembagaan criminal justice system.

“Dalam perspektif pelembagaan criminal justice system penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa sebagai salah satu syarat untuk dapat dikatakan sebagai suatu negara hukum hanya memiliki sistem pelembagaan criminal justice system,” tegasnya.

Sekadar informasi, ketentuan tentang penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan perlu mendapat izin dari Dewan Pengawas tercantum dalam Pasal Pasal 12B, Pasal 37B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47 UU 19/2019.(rid/frh/dfn)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
28o
Kurs