Nadiem Anwar Makarim Mendikbud-Ristek menjelaskan, Kemendikbud-Ristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) sedang menyiapkan Peraturan Menteri (Permen) tentang Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
“Bagi kami di Kemendikbud-Ristek adalah harga mati, tidak ada toleransi bagi kekerasan seksual di unit-unit pendidikan kita. Peserta didik dan pengajar kita harus bebas dari kekerasan seksual dan harus merasa aman untuk melaporkan isu-isu yang ada,” tegas Mendikbud-Ristek dalam diskusi daring “Ngobrol Intim: Yang Muda, Yang Berjuang untuk Setara”, Rabu (28/4/2021).
Acara ini adalah hasil kolaborasi bersama Jaringan Muda Setara dalam rangka menutup Bulan Kepedulian dan Pencegahan Kekerasan Seksual serta menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Menurut Nadiem, sangat hipokrit kalau mengajarkan Pancasila, tapi aspek-aspek Ketuhanan Yang Maha Esa dan moralitas tidak dijunjung tinggi.
“Kita harus melindungi yang terkena pelecehan dan kekerasan seksual. Kalau pemerintah tidak hadir untuk menciptakan ruang publik untuk mengeradikasi (memusnahkan) hal-hal negatif seperti ini, bagaimana masyarakat bisa melaporkan kasus kalau tidak ada dukungan dari pemerintah? Guru, murid, dosen, dan mahasiswa harusnya merdeka melaporkan kekerasan seksual yang terjadi,” tegas Mendikbud-Ristek.
Nadiem menegaskan kembali esensi dari Merdeka Belajar. Bahwa kekerasan seksual harus dibasmi dari institusi pendidikan. Dia menekankan, bahwa Kemendikbud-Ristek berupaya menerapkan nilai-nilai Pancasila untuk menghapus tiga dosa besar di dunia pendidikan, yaitu intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan. Mendikbud-Ristek mengakui bahwa tiga topik di atas kelihatannya berbeda.
“Tetapi ujungnya ini adalah gejala krisis moral dalam institusi pendidikan dan masyarakat kita. Jadi, agar anak-anak kita bisa merdeka belajar, mereka harus bisa merdeka dari intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan. Merdeka dari apapun yang akan menjajah potensi, kesehatan mental mereka. Karena itulah Merdeka Belajar tidak dapat dipisahkan dari upaya kita mendobrak tiga dosa ini,” jelas Mendikbud-Ristek.
Nadiem menjelaskan bahwa Permendikbud No. 46 Tahun 2014 tentang Pendidikan Khusus, Pendidikan Layanan Khusus dan/atau Pembelajaran Layanan Khusus pada Pendidikan Tinggi telah mengatur agar setiap WNI termasuk penyandang disabilitas dapat menempuh dan menyelesaikan studinya dengan aman dan optimal. Permendikbud Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual juga dirancang dengan menjunjung tinggi prinsip inklusivitas dengan mengatur kesetaraan akses, khususnya bagi difabel. Juru bahasa isyarat dan penyederhanaan alur serta mekanisme pelaporan adalah beberapa hal yang akan diatur.
“Inklusivitas merupakan materi utama kampanye melawan Kekerasan Berbasis Gender Online yang kami lakukan melalui Puspeka. Kami sadar perlu penanganan khusus bagi teman-teman difabel sebagai yang rentan dari yang rentan,” jelasnya.
Mengenai kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang diberitakan di media massa, Mendikbud-Ristek menegaskan, kalau hal itu sudah ada proses pelaporannya. Namun yang ingin disempurnakan dengan rancangan Permendikbud adalah peningkatan transparansi. Kemendikbud-Ristek, sivitas akademika, pemimpin perguruan tinggi, semua harus tahu tentang kasus-kasus kekerasan seksual, dan informasi yang diketahui seharusnya sama. Untuk itu, dibutuhkan partisipasi mahasiswa. Dari rekam jejak, program-program yang sukses dan berkelanjutan adalah yang didukung mahasiswa.
Mahasiswa laki-laki, menurut Mendikbud-Ristek, juga harus turut ambil peran aktif membela hak-hak kesetaraan gender serta mengecam kekerasan seksual dan berbagai intoleransi di kampus.
“Saya mengajak mahasiswa laki-laki juga untuk turut bergerak bersama mewujudkan kesetaraan gender di kampus-kampus kita,” imbau Nadiem.
Selain itu, Mendikbud-Ristek berharap komunitas mahasiswa dapat saling mendukung untuk mengekskalasi laporan kekerasan seksual, termasuk untuk memperhatikan teman-teman dan warga kampus yang difabel agar dapat turut menyuarakan isu kekerasan seksual.
“Yang jelas, kalau Permendikbud-nya sudah keluar, tidak mungkin kita tidak monitor real time. Supaya isu-isu ini tidak mentok di perguruan tinggi, kuncinya adalah menciptakan multi-channel untuk meningkatkan transparansi agar tercipta check and balance di internal kampus,” jelas Nadiem.
Ia pun menegaskan bahwa penindakan indisipliner bagi dosen atau mahasiswa harus dapat dilakukan jika sudah cukup banyak bukti kuat.
“Kita bukan hanya kampanye. Tetap perlu sanksi dan hukuman bagi para pelaku. Penindakan adalah bagian dari kebijakan kita,” ungkap Mendikbud-Ristek.(faz/frh/dfn)