Pinky Saptandari pemerhati masalah anak dan perempuan mengatakan, dampak pernikahan anak di masa pandemi harus diwaspadai sama pentingnya dengan pandemi itu sendiri.
Hal ini diungkapkannya berdasarkan realita meningkatnya pernikahan anak di masa pandemi, karena orang tua terjerat masalah ekonomi dan pendidikan yang dilakukan dari rumah. Ditambah lagi waktu luang anak cukup banyak di rumah.
“Daripada susah ngawasi, pragmatismenya dinikahkan saja daripada susah-susah,” kata Pinky kepada Radio Suara Surabaya, Rabu (21/4/2021).
Akibatnya, sejumlah masalah mengintai yang berkaitan dengan mata rantai menurunnya kualitas sumber daya manusia karena ada sebuah kondisi di mana anak punya anak. Bukan hanya itu masalah seperti kualitas kesehatan reproduksi, keberlangsungan pendidikan, hingga wanita rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga hingga angka perceraian yang meningkat juga patut diwaspadai.
Menurut Pinky, ini harus menjadi titik tekan dari semua pihak termasuk kepala daerah bahwa persoalan kemiskinan yang membelenggu akibat pandemi harus diatasi karena terjadi feminisasi kemiskinan. “Kemiskinan berbasis kekerasan gender, di mana ada angka kematian ibu, perceraian dan perkawinan anak. Itu semua harus dihentikan dengan gerakan, mulai dari stop pernikahan anak.”
Diakuinya fenomena ini jauh dari buah pikir yang dilahirkan oleh RA Kartini. Kartini lahir dan tumbuh di zaman penuh keterbatasan, namun pemikirannya jauh melampaui zamannya. Sedangkan saat ini di mana akses teknologi, informasi dan komunikasi yang berlimpah, justru mengalami kemunduran dalam pikir. Dia berpendapat pola pikir ini yang harus didekonstruksi.
“Kemunduran dalam pikir ini yang harus didekonstruksi. Bahwa sebetulnya ketika berbicara tentang kesejahteraan umat manusia akan ter-invest bila hak perempuan dari separuh perempuan di seluruh dunia terpenuhi,” ujarnya.(dfn/iss)