Sabtu, 23 November 2024

Pancasila dan Bahasa Indonesia Tidak Tercantum, PPP Ingatkan Jangan Bebani Jokowi dengan Kebijakan Tak Sinkron

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Arsul Sani Wakil Ketua Umum PPP yang juga Wakil Ketua MPR RI. Foto: Dok. suarasurabaya.net

Setelah kontroversi Perpres bidang usaha investasi yang memasukkan minuman keras sebagai bidang usaha investasi yang akhirnya dicabut dan hilangnya frase agama dalam rancangan peta jalan pendidikan nasional (PJPN), Kini Kemendikbud kembali mendapat sorotan soal kebijakan dan aturan di bidang pendidikan.

Sorotan itu terkait tidak tercantumnya mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021.

“Dalam Pasal 40 ayat 3 PP ini tidak tercantum Pancasila sebagai mata pelajaran. Sedangkan Bahasa Indonesia tidak tercantum tegas, hanya disebut bahasa saja,” ujar Arsul Sani Wakil Ketua Umum PPP yang juga Wakil Ketua MPR RI dalam keterangannya, Sabtu (17/4/2021).

Melihat hal ini yang terus terulang dan menjelang kemungkinan adanya reshufle kabinet, PPP sebagai partai koalisi pemerintahan mengingatkan jajaran kabinet dan pemerintahan agar ke depan tidak terus-menerus menciptakan beban politik dan ruang suuzon (prasangka tidak baik) terhadap Jokowi Presiden dan pemerintahannya.

Arsul menyatakan, sebaiknya semua yang di kabinet maupun jajaran Pemerintahan punya tekad mengurangi bahkan menghilangkan beban politik dan ruang suuzon terhadap Presiden dari elemen masyarakat mana pun.

Untuk itu, Arsul menekankan perlunya kordinasi yang baik, antara lain dengan pembahasan antar kementerian dan lembaga (K/L) yang komprehensif atas hal-hal yg sensitif atau akan menarik perhatian publik dan akan menjadi atau diputuskan oleh K/L tersebut harus saling melakukan “proof reading” atas rancangan kebijakan atau aturan.

“Ini tentu bisa dimulai dalam rapat kabinet atau rapat kordinasi di bawah Kemenko yang bersangkutan. Saya yakin dengan cara seperti ini maka sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan atau peraturan akan lebih baik,” jelasnya.

Lebih lanjut Arsul menilai problem sinkronisasi dan harmonisasi ini timbul karena masih rendahnya kordinasi antar kementerian dan lembaga pemerintahan terkait. Menurut Arsul, meski ada kementerian kordinator (kemenko), namun level kordinasi tinggi seperti yang diharapkan belum tercipta.

“Sebagai contoh rendahnya level kordinasi ini, menunjuk kasus tidak tercantumnya Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran (kuliah) dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2021. Padahal dalam Pasal 35 UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pancasila dan Bahasa Indonesia masuk kedalam kurikulum perguruan tinggi,” kata Arsul.

Menurut dia, jika ada kordinasi yang lebih baik antar kementerian dalam penyiapan PP 57 Tahun 2021, setidaknya antara Kemendikbud sebagai pemrakarsa, Kemenkumham sebagai kordinator legislasi Pemerintah dan Sekretariat Negara sebagai pintu terakhir sebelum sebuah produk aturan ditandatangani Presiden, maka sisi pandang yang melihat tidak sinkron dan harmonisnya PP di atas dengan UU-nya bisa dicegah.

“Jika semuanya sinkron maka beban politik dan ruang suudzon dari elemen masyarakat dengan sendirinya akan dapat diminimalisir secara signifikan,” tutup Arsul.(faz/den)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs