Sabtu, 23 November 2024

AJI Surabaya Mengecam Keras Pelaporan Jawa Pos oleh Manajemen Persebaya

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Logo Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surabaya mengecam keras pelaporan liputan investigasi yang dilakukan jurnalis Jawa Pos oleh manajemen Persebaya ke Polrestabes Surabaya.

Miftah Faridl Ketua AJI Kota Surabaya menyayangkan kembali dijeratnya kerja jurnalistik dengan KHUP dan Undang-Undang 11/2008 tentang lnformasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Sekadar mengingatkan, kemarin, Senin (7/1/2019), Candra Wahyudi Manajer Persebaya melaporkan Jawa Pos atas hasil liputan investigasi tentang mafia bola ke Polrestabes Surabaya.

Laporan dengan nomor LP/B/24/I/2019/JATIM/RESTABES SBY itu mengenai dugaan unsur fitnah dan pencemaran nama baik oleh Jawa Pos melalui berita berjudul “Green Force Pun Terseret” yang dimuat di Koran Jawa Pos edisi 6 Januari 2019.

Sekadar diketahui, berita itu mengulas tentang dugaan pengaturan skor di laga antara Kalteng Putra melawan Persebaya dalam Liga 2 yang berlangsung 12 Oktober 2017 silam.

Manajemen Persebaya, dalam sebuah keterangan usai pelaporan menginginkan, agar Jawa Pos bertanggungjawab melalui jalur pidana dengan membuktikan tuduhan dalam berita itu.

“AJI Surabaya mengecam keras pelaporan karya jurnalistik ke pihak kepolisian. lni sama dengan kriminalisasi jurnalis dan media massa yang menjalankan tugas sesuai kode etik jurnalistik dan menjamin hak publik untuk tahu,” ujar Faridl dalam pernyataan sikapnya, Selasa (8/1/2019).

Seharusnya, kata jurnalis CNN Indonesia ini, manajemen Persebaya meminta Hak Jawab sesuai termuat dalam Undang-Undang 40/1999 tentang Pers (UU Pers).

Jalur hak jawab sudah diatur dalam UU Pers Pasal 1 ayat (11), (12), dan (13), tentang hak jawab dan koreksi. Selain itu, di dalam Kode Etik Jurnalistik (KEI) Pasal 11 dan 10 juga termuat prosedur hak jawab, pencabutan, ralat, dan memperbaiki berita yang tidak akurat.

“Artinya, Seluruh hak-hak orang, kelompok atau lembaga yang menjadi objek pemberitaaan dan kewajiban-kewajiban media massa sudah diatur dan dijamin oleh undang-undang,” katanya.

Faridl menegaskan beberapa pernyataan sikap AJI Surabaya. Pertama, bahwa jurnalis bukan penegak hukum dan Jawa Pos bukan lembaga penegak hukum.

Artinya, jurnalis maupun media massa tidak memiliki kewajiban untuk membuktikan fakta yang mereka dapatkan di lapangan dengan pendekatan hukum.

“Fakta hukum berbeda dengan fakta jurnalistik. Informasi yang didapat di lapangan, kemudian diverifikasi, diklarifikasi sesuai UU Pers dan kode etik jurnalistik adalah “fakta” di dunia jurnalistik,” katanya.

Selain itu, jurnalis dan media massa tidak diberi kewenangan untuk melakukan penyitaan, penggeledahan, sampai penangkapan, sehingga tidak memiliki kewajiban membuktikan apa yang mereka sajikan di dalam berita melalui jalur hukum.

“Kami menganggap, tuntutan manajemen Persebaya agar Jawa Pos dan jurnalisnya membuktikan tuduhan itu sangat gegabah,” kata Faridl.

AJI Surabaya telah melakukan kajian dan klarifikasi dari Jawa Pos berkaitan prosedur jurnalistik dalam produksi berita investigasi berjudul “Green Force Pun Terseret”.

Menurut Faridl, Jawa Pos sudah meminta klarifikasi kepada semua pihak terkait di dalam berita tersebut. Di antara, sudah ada bantahan dari Cholid Ghoromah, salah satu petinggi Persebaya.

Jurnalis Jawa Pos juga sudah meminta konfirmasi dan klarifikasi dari Chairul Basalamah, yang juga bagian dari manajemen Persebaya. Sempat ada obrolan, tapi karena yang bersangkutan ada keperluan, telepon ditutup dengan janji akan ditelepon balik.

Tidak hanya itu, jurnalis Jawa Pos juga sudah berupaya menghubungi kembali Chairul Basalamah sebanyak 58 kali. Bahkan, kantor Persebaya juga sudah didatangi tapi tidak ada satupun yang bisa dimintai konfirmasi.

“Di berita itu juga sudah ada bantahan dari Candra Wahyudi Manajer Persebaya saat ini. Begitu juga klarifikasi dari pemain Persebaya. Secara teknis, seluruh prosedur peliputan sudah dijalankan Jawa Pos,” katanya.

Faridl menegaskan, berkaitan dengan permasalahan prosedur peliputan ini, hanya Dewan Pers yang memiliki kewenangan untuk mengujinya, menguji akurasi berita, sampai profesionalitas Jawa Pos.

“Bukan kepolisian yang berhak menguji,” katanya.

AJI Surabaya menyayangkan keputusan Polrestabes Surabaya yang langsung membuatkan berkas pelaporan. Padahal, di kasus-kasus serupa, polisi biasanya menerima laporan orang, kelompok, atau lembaga yang merasa dirugikan oleh pers, dalam bentuk Aduan Masyarakat.

“Kami mengingatkan, ada Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri. Nota ini bisa menjadi rujukan Polrestabes Surabaya untuk melindungi kemerdekaan pers,” kata Faridl.

AJI Surabaya pun mendesak agar manajemen Persebaya mencabut laporan di Polrestabes Surabaya dan menempuh jalur hak jawab dan koreksi atau bisa melalui aduan ke Dewan Pers.

“Ini sekaligus menjadi pembelajaran bagi semua pihak, termasuk media massa, tentang bagaimana seharusnya sengketa pemberitaan Itu diselesaikan. Apalagi, pelapor merupakan mantan wartawan atau jurnalis yang semestinya paham tentang ini,” katanya.(den/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs