Benny Kabur Harman, politisi Partai Demokrat, mengingatkan kepada pemerintah untuk tidak mudah menyikapi informasi yang muncul dari lawan politik langsung dianggap hoaks.
Sikap yang demikian, kata Benny, bisa membuat masyarakat menjadi takut menginformasikan atau meminta konfirmasi terhadap adanya informasi tertentu yang berkembang di masyarakat.
“Perlu ditegaskan kembali hak kebebasan berpendapat. Jangan setiap informasi yang muncul dianggap hoaks. Yang sejalan dengan kita (pemerintah atau petahana) katakan betul, yang tidak sejalan kita anggap hoaks. Sebagai wujud kebebasan informasi, jangan cepat-cepat di judge atau dinilai sebagai hoaks,” ujar Benny dalam acara Koalisi Bicara di Media Center Prabowo-Sandi, Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan, Selasa (8/1/2019).
Benny kemudian juga menyinggung kasus Andy Arief Wasekjen Partai Demokrat yang akan diperiksa Polisi karena hoaks soal tujuh kontainer surat suara tercoblos.
Menurut dia, Andy Arief seharusnya diberi apresiasi karena memberikan informasikan minta KPU mengecek soal benar atau tidaknya informasi soal surat suara tercoblos.
“Harusnya Andy kan diapresiasi, tapi ini malah dianggap menyebar hoaks,” jelas Benny.
Sementara Habiburakhman Kepala Bidang Advokasi DPP Partai Gerindra memberikan rapor merah pada rezim saat ini.
Hal yang paling disoroti oleh Habiburokhman adalah mengenai azas persamaan hukum bagi masyarakat. Ia mencontohkan perkara ujaran kebencian yang menjerat Asma Dewi dan perlakuan penegak hukum terhadap kasus penistaan agama yang melibatkan politikus Partai NasDem yakni Viktor Laiskodat.
“Ibu Asma Dewi ini ada konpres terkait dengan saracen kemudian dibilang sejumlah uang transfer dengan saracen pada akhirnya divonis yang seolah dipaksakan. Sisi lain kasus Viktor Laiskodat sampai sekarang tidak ada progressnya,” ujar Habiburokhman.
“Apakah benar hukum itu hanya tajam kepada orang yang mengrkitik kekuasaan dan tumpul kepada orang yang baik dengan kekuasaan,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, ia juga mengingatkan kembali kasus penyerangan terhadap penyidik senior KPK yakni Novel Baswedan yang hingga kini belum juga terungkap. Ini juga yang mempengaruhi indeks persepsi korupsi di era Jokowi yang cenderung tidak ada peningkatan.
“Soal tingkat pidana korupsi ini lebih berat lagi untuk petahana berdebat. Bagaimana mungkin indeks persepsi korupsi yang ditartgetkan oleh KPK di 50 di tahun 2019 saat ini baru 3.9. Skornya 100 maksimal dan ini sekarang 3.9,” jelasnya.(faz/iss/ipg)