Windhu Purnomo Tim Kajian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga Surabaya mengatakan, sebelum memutuskan untuk melakukan relaksasi, seperti yang diwacanakan Pemkot Surabaya terhadap RHU (rekreasi hiburan umum), dari segi status risiko daerah, tentu yang harus dilihat adalah angka positivity rate-nya.
“Gak cukup hanya melihat berapa yang positif, yang penting positivity rate, jumlah yang positif dibagi jumlah orang yang diperiksa di hari yang sama. Yang dilansir tiap hari gak ada jumlah yang di tes. Kita gak boleh hanya melihat jumlah yang positif, harus juga dilihat yang di tes,” kata Windhu kepada Radio Suara Surabaya, Kamis (25/3/2021).
Seperti diketahui, Irvan Widyanto Wakil Sekretaris Satgas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya mengeklaim kasus Covid-19 di Surabaya di bawah 200 kasus. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut apakah itu data harian atau data keseluruhan pasien Covid-19 terbaru di Surabaya.
Pantauan suarasurabaya.net di situs Surabaya Lawan Covid-19 data per 24 Maret 2021 tertulis kasus konfirmasi dalam perawatan tercatat sebanyak 180 kasus. Tidak dijelaskan lebih lengkap mengenai data yang dilakukan tracing.
Menurut Windhu, Pemkot Surabaya harus juga melihat tingkat positivity rate Surabaya, karena menurutnya Jatim sempat berada di angka 6 persen beberapa minggu lalu. Sedangkan hari ini, ia tidak tahu karena jumlah orang yang di tes harian tidak dilansir rutin untuk publik.
“Kalau sudah 6 persen berarti mendekati batas maksimum WHO. Surabaya di mana itu yang penting, hanya Dinas Kesehatan Kota yang bisa menyampaikan itu.”
Badan Kesehatan Dunia (WHO) kata Windhu, menerapkan standar, bila angka positivity rate di atas 5 persen termasuk high incidence, 10-20 persen moderate incidence, dan di atas 20 persen very high incidence.
Ia kembali mempertanyakan informasi tersebut tidak pernah dilansir secara rutin kepada masyarakat. “Kita ndak tahu, yang tahu Dinkes aja.”
Kalau angka positivity rate di bawah 5 persen, artinya setiap 100 orang yang diperiksa ada 5 yang positif, maka relaksasi bisa dilakukan.
RHU seperti taman dan hutan kota, menurut Windhu, lebih rendah risiko penularannya dibanding tempat tertutup. Kalau RHU tertutup seperti bioskop, tentu harus menerapkan jarak yang lebih lebar dan durasi di dalam ruangan harus dipersingkat. Dan menggunakan masker
“Tidak sama antara tempat hiburan terbuka dan tertutup. Itu prinsipnya,” terangnya.(dfn/ipg)