Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro Menteri Riset dan Teknologi Indonesia mengatakan, kunci suatu negara bisa menguasai vaksin adalah Riset dan Pengembangan (Research and Development/ R&D) yang kuat.
“Kita lihat bahwa kunci dari suatu negara bisa menguasai vaksin apalagi menghasilkan vaksin dengan cepat itu adalah karena R&D (Research and Development)-nya sudah kuat,” ujar Bambang dalam acara 1 tahun pandemi Covid-19 secara virtual, Selasa (2/3/2021).
Selain itu, kata Bambang, riset dan pengembangannya juga harus terintegrasi dengan pembuatannya. Selama ini nama Sinovac, Astrazeneca, Pfizer dan Johnson and Johnson justru adalah pabriknya.
“R&D-nya integrated dengan manufacturing-nya. Justru yang bapak ibu kenal yaitu Sinovac Pfizer, Astrazeneca, Johnson and Johnson itu semua manufacturer-nya,” jelasnya.
Hanya saja, kata dia, R&D dari pabrik-pabrik tersebut memang jadi satu, sehingga mereka ideal sekali.
“Mungkin bapak ibu tidak terlalu melihat siapa yang melakukan R&D-nya. Yang melakukan R&D-nya ya di mereka sendiri, jadi kalau pabrik manufacturing jadi satu sama R&- nya itu yang paling ideal,” tegasnya.
Menurut Bambang, kalau bicara untuk pengembangan vaksin, maka dari awal manufacturing-nya sudah tahu bahwa R&D-nya harus diarahkan sesuai dengan kapasitas dari pabrik.
“Bayangkan kalau R&D mulai duluan atau mulai sendiri manufacturing-nya kemudian mencoba menyesuaikan di tengah atau di akhir, itu yang mohon maaf terjadi dengan kita karena memang belum ada pengalaman,” kata Bambang.
Menristek menegaskan, momen adanya pandemi Covid-19 ini harus menjadi pelajaran buat bangsa Indonesia bahwa pengembangan vaksin harus dilakukan secara mandiri dari hulu sampai hilir.
“Hilirnya mungkin kita merasa sudah punya Biofarma, tapi hulunya kita masih harus belajar banyak mengenai R&D vaksin khususnya memahami berbagai macam platform yang ada dalam pengembangan vaksin,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Bambang, yang tidak mudah juga peralihan dari hulu ke hilir, atau peralihan dari laboratorium ke manufacturing. Ternyata itu juga proses yang harus dipelajari dan harus ada pengalamannya.
“Tidak bisa ujug-ujug istilahnya kita langsung begitu dapat bibit vaksin langsung kirim ke pabrik, langsung jadi. Jadi ada learning process yang harus kita lalui, tapi lebih baik kita bersusah-susah sekarang tapi ke depannya mudah-mudahan kita bisa lebih mandiri dalam pengembangan vaksin,” pungkas Bambang.(faz/dfn)