Radio tidak harus 100 persen jadi multimedia karena DNA radio adalah audio service. Demikian analisa Agus Soetama Ketua Bidang Pengembangan Teknik Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Pusat terhadap disrupsi industri radio di era digital.
“Radio tidak perlu 100 persen menjadi televisi karena sifatnya radio adalah audio service, ada theater of mind. Sekarang banyak orang yang bekerja gak bisa sambil nonton televisi. Buat saya itu peluang harus dieksplor,” ujarnya dalam Live Talkshow “discuss” di Facebook e100 pada Hari Radio Dunia, Sabtu (13/2/2021).
Agus mengakui, sekarang radio FM sedang drop karena sudah kena disrupsi digital dan pandemi. Disrupsi terjadi begitu cepat sehingga terkesan radio selesai.
“Analisa saya tidak selesai, tapi melengkapi. Digital bukan pesaing, tapi saling melengkapi. Keduanya bisa memperkaya. Ketika transformasi ke digital, radio dijadikan streamming, sama saja cuma pipanya lewat internet, tanya jawab bisa posting, sama saja cuma lebih efisien lebih cepat,” kata Agus.
Supaya radio bisa bertahan melewati era disrupsi digital, Agus menyarankan radio segera mengubah model bisnis dan model teknisnya. Pertama, me-monetize setiap peluang dan kekuatan. Kedua, jangan alergi dengan perubahan.
“Kita punya kekuatan dan potensi meski belum semua kita gali,” kata dia.(iss/lim)