Tema Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2021 adalah “Bangkit dari Pandemi, Pers sebagai Akselerator Perubahan dan Pemulihan Ekonomi”. Ainur Rohim Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur mengatakan, tema tersebut dipilih karena melihat realita terjadinya kontraksi ekonomi yang luar biasa karena pandemi Covid-19 setahun ini yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi di angka minus.
“Diharapkan pada HPN 2021 sekaligus HUT PWI ke-75, pers bisa membangun optimisme masyarakat, kita secara bersama-sama dalam satu-kesatuan bangsa bisa mengatasi problem ini. Penting, seluruh ketentuan, regulasi, atau protokol yang ditetapkan otoritas terkait yang punya kompetensi dan profesionalisme di bidang itu bisa kita taati,” ujarnya saat mengudara di Radio Suara Surabaya, pada HPN 2021, Selasa (9/2/2021).
Di sisi lain, media massa sendiri juga terdampak. Namun, hal ini tidak mengurangi fungsi kontrol sosial media massa.
Ainur menjelaskan, ada tiga kondisi yang menyebabkan media massa sulit bertahan di masa pandemi ini. Pertama sepuluh tahun terakhir ini terjadi era disrupsi media. Penetrasi media sosial yang luar biasa ternyata memberikan dampak yang luar biasa terhadap konsumerisme media di masyarakat dan secara global.
Kedua, pandemi Covid-19 berdampak luar biasa pada kegiatan sosial ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Bidang komunikasi, pers dan media massa yang berada di titik hilir. Jadi ketika aktivitas ekonomi sosial di titik hulu ada problem, terjadi kontraksi, pertumbuhan minus, titik hilir pasti terdampak.
Ketiga, pandemi mengakibatkan resesi yang ditandai pertumbuhan ekonomi minus pada dua triwulan terakhir pada 2020. Harapan kita di 2021 pertumbuhan ekonomi minus tidak terjadi sehingga bisa mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi meskipun besarannya tidak seperti kondisi normal.
“Sekarang kita masuk di alam demokrasi sejak tahun 1998. Jadi fungsi sosial kontrol yang diperankan media tidak bisa sama persis seperti masa orde baru. Ruang demokrasi relatif terbuka, transparasi semakin kuat, maka kelihatan ada gradasi yang berbeda dengan masa orde baru,” kata dia.
Dengan realitas itu, kata Ainur, tidak berarti fungsi kontrol sosial diminimalisir atau berkurang. Tetap bisa dilakukan sekalipun ada media-media yang dekat dengan pemegang kekuasaan, banyak juga media yang bisa menjaga jarak dengan pemegang kekuasaan.
Pada saat tertentu ketika ada program atau kebijakan yang tidak pro rakyat, fungsi kontrol dijalankan dengan luar biasa. Contohnya pada kasus pemberitaan tentang isu kudeta di Partai Demokrat, luar biasa kontrol yang diberikan banyak media massa terhadap fenomena tersebut.(iss/lim)