Sabtu, 23 November 2024

AKM Diharap Mampu Meningkatkan Kualitas Guru dan Mengubah Cara Mengajar

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Ilustrasi. Simulasi sistem pembelajaran kombinasi tatap muka dan online (Blended Learning yang diikuti 14 SMP di Kota Surabaya, Senin (7/12/2020). Foto: Humas Pemkot Surabaya

Setelah meniadakan Ujian Nasional, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan menerapkan standar nasional baru bernama Asesmen Kompetensi Minimum (AKM).

Tidak hanya sekadar menilai hasil ujian sejumlah mata pelajaran atau hasil akademik siswa, AKM ini lebih menyasar kemampuan pemahaman dan analisis siswa dari berbagai ilmu yang mereka dapatkan.

“Terutama kemampuan literasi dan numerasi yang mereka butuhkan di masa depan, dengan tes berstandar internasional: PIRLS, PISA, maupun TIMSS,” kata Martadi Direktur Vokasi Unesa, Senin (8/2/2021).

Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), Programme for International Student Assessment (PISA), dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) adalah standar penilaian.

Standar penilaian kemampuan siswa itu menjadi standar penilaian internasional untuk mengukur dan membandingkan kemampuan pembelajaran siswa dari berbagai negara di dunia.

Dalam makalah yang disusun Martadi dan dia sampaikan dalam diklat guru akhir Januari lalu, dia tampilkan peringkat pelajar Indonesia dalam hal literasi dan numerasi dengan tiga standar penilaian itu.

Pada 2011 lalu, survei PIRLS menunjukkan, Indonesia berada di peringkat ke-42 dari 45 negara dalam hal kemampuan literasi. Tidak jauh berbeda dengan hasil survei dengan standar PISA.

Survei PISA pada 2009 menunjukkan, siswa di Indonesia ada di peringkat ke-57 dari 65 negara hasil asesmen yang ada. Pada 2012 justru merosot di peringkat ke-64 dari 65 negara dan tidak beranjak naik pada 2015, yakni di peringkat ke-65 dari 70 negara.

Baik PIRLS, PISA, dan TIMSS mengklasifikasikan survei kemampuan kognitif siswa mengacu pada taksonomi atau klasifikasi yang dikenalkan Benjamin S. Bloom sejak 1965 silam.

Kemampuan kognitif atau kemampuan memperoleh pengetahuan sebagai tujuan pendidikan, dalam Taksonomi Bloom, terbagi enam klasifikasi. Mulai dari tingkat paling dasar sampai tinggi.

Bagian paling dasar adalah pengetahuan. Termasuk dalam tingkatan ini adalah kemampuan siswa mengingat dan menjelaskan kembali ilmu yang pernah mereka dapatkan.

Pada tingkatan berikutnya, siswa mampu mencapai taraf “pemahaman”, “penerapan”, “analisis”, “sintesis”, dan “evaluasi”. Lima tingkatan terakhir ini oleh Bloom disebut “kemampuan dan keterampilan intelektual”.

“Hasil tes PISA dan TIMSS anak-anak kita rendah. Rata-rata hanya di level 1 dan 2. Atau hanya di level pemahaman. Jarang yang sampai level 5 (sintesis) atau sampai di level 6 (evaluasi),” ujarnya.

Hal itu terjadi, menurut Martadi, karena anak-anak Indonesia terbiasa mengerjakan soal mengingat seperti yang diujikan dalam pelbagai ujian, baik Ujian Sekolah (US), UN, maupun Ujian Kesetaraan.

AKM, kata Martadi, hadir dengan semangat meningkatkan mutu dan kualitas pembelajaran siswa di sekolah sehingga siswa tidak hanya mampu dalam bidang akademik saja.

“Kita ini kan mempersiapkan anak untuk era ke depan. Kalau anak sekarang kelas 1 SD, baru akan bekerja 2035. Yang dibutuhkan apa pada 2035 itu? Ya, tadi, kemampuan berpikir tingkat tinggi, memecahkan masalah, kuat dalam literasi, kuat numerasi, dan karakternya kokoh,” katanya.

Sebagai pengganti Ujian Nasional yang menurutnya banyak dikeluhkan membebani siswa dan dianggap tidak adil, menurutnya AKM sebagai sistem penilaian standar nasional sangat positif.

AKM, kata Martadi, sebenarnya bertujuan membenahi kualitas pembelajaran di Indonesia. Untuk membenahi kualitas pembelajaran, maka harus ada peningkatan kompetensi guru.

“Ya, kena. Implikasinya ke sana. Apa cukup (meningkatkan kompetensi guru)? Enggak. Cara mengajarnya harus berubah. Kalau paradigma guru cuma ngajar, anak ngerjain soal, nilainya harus tinggi, ya, berat,” ujarnya.

Karena itu, kata pria yang juga Ketua Dewan Pendidikan Kota Surabaya itu, AKM berpotensi mengubah cara pandang guru dan orang tua terhadap pendidikan yang selama ini menekankan capaian akademik.

“Yang mana itu (capaian akademik) pun levelnya hanya di level paling rendah (dalam standar internasional). Dengan AKM, anak akan dibimbing agar punya kemampuan berpikir dan karakter yang kuat,” ujarnya.(den/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
35o
Kurs