Sabtu, 23 November 2024

PGRI Jatim: Peniadaan UN Kebijakan Egois

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Ilustrasi. Sejumlah siswa menjalani Ujian Nasional sebelum Pandemi Covid-19 dalam pengawasan seorang tenaga pengawas. Foto: dok. suarasurabaya.net

Teguh Sumarno Ketua PGRI Jatim menyatakan, kebijakan peniadaan Ujian Nasional (UN) adalah kebijakan yang egois. Tanpa UN, menurutnya sekolah kehilangan patokan standar penilaian siswa.

“Sebenarnya ide menghilangkan UN, 10 tahun ini sudah muncul. Baik dari (DPR RI) Komisi X Bidang Pendidikan, menteri-menteri kemarin, termasuk Pak Jusuf Kalla Wakil Presiden waktu itu,” ujarnya, Minggu (7/2/2021).

Menurutnya, persoalan berkaitan UN memang sangat pelik. Karena berkaitan dengan kualitas anak didik. Walaupun, di dalam Undang-Undang pendidikan, sekolah boleh memakai konsep kelulusan sendiri.

“Itu yang diharapkan Pak Menteri sekarang. Memang secara UU yang menentukan lulus itu sekolah. Tapi standar pendidikan nasional antara kabupaten/kota dengan pedalaman, kan, berbeda,” katanya.

Dia mengakui, selama ini muncul anggapan minor tentang UN yakni terlalu mencampuradukkan masalah. Sekolah selama tiga tahun hanya ditentukan dengan jawaban 10 soal setiap mata pelajaran.

Dia berpendapat, seharusnya, tetap ada standar nasional yang diterapkan setara UN namun dengan strategi dan metode yang diperbarui.

“Jadi jangan melakukan cara-cara yang egois. UN dianggap salah, UN dianggap mencampuradukkan persoalan, dan lain sebagainya,” katanya.

Peniadaan UN, menurut Teguh, merupakan pemikiran Mendikbud yang sudah berpengalaman sukses dalam hal usaha dan ingin menciptakan siswa-siswi yang juga sukses dan mandiri dalam usaha.

“Kemandirian dan kesuksesan dalam usaha atau perdagangan, kan, tidak bisa diterapkan dalam keilmuan,” ujarnya.

PGRI Jatim, kata Teguh, menyikapi peniadaan UN ini dalam dua dimensi. Pertama, PGRI Jatim tidak sepakat UN dihapus karena standar penilaian siswa secara nasional menjadi hilang.

“Secara moral dalam menghadapi ujian akhir anak-anak akan santai saja. Karena yang menentukan sekolah dan guru. Sekolah dan guru kan selalu membela kepentingan anak didik. Ya harus lulus. Itu kenapa kami tidak mau,” ujarnya.

Dimensi kedua, PGRI Jatim sepakat UN dihilangkan secara nasional, karena undang-undang memang mensyaratkan yang menentukan asesmen kompetensi anak adalah sekolah.

“Sehingga di sini memunculkan kedaulatan sekolah dan guru secara riil. Guru berdaulat dalam langkah menentukan keilmuannya, dan sekolah berdaulat dalam menentukan kelulusan siswanya,” ujarnya.

Yang jelas, kata Teguh, peniadaan UN ini akan membawa dampak perubahan yang berarti. Salah satunya kesakralan momen menjelang UN bagi siswa dan orang tua siswa selama ini menjadi tiada.

“Kalau zaman kita dulu mau ujian nasional, waduh, isuk awan subuh, yo, sinau (pagi siang subuh, ya, belajar). Motivasi memperbaiki keilmuan, semangat berdoa, semangat salat, semangat minta doa orang tua menjelang ujian nasional itu luar biasa,” katanya.

Bahkan menurutnya, kalau siswa itu orang Jawa, saat hendak berangkat mengikat UN sampai harus dilangkahi dulu oleh ibunya, diminta memegang jarik ibunya, dan lain sebagainya.

“Itu, kan, karena betapa pentingnya untuk mendapatkan keilmuan itu. Sekarang enggak ada lagi yang seperti itu,” katanya.(den/lim)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs