Jumat, 22 November 2024

Jubir Satgas Covid-19 Jawab Berbagai Hoaks Vaksin yang Beredar

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
dr Siti Nadia Tarmizi Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dalam Live KelaSS Pintar Season 2 pada Rabu (3/2/2021) yang dipandu host Restu Indah. Foto: Tina suarasurabaya.net

Meski vaksinasi Covid-19 sudah mulai dilakukan, namun hal itu tidak menyurutkan gelombang penolakan di masyarakat terhadap vaksin.Dalam

Live KelaSS Pintar Season 2 pada Rabu (3/2/2021), dr Siti Nadia Tarmizi Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 memberikan jawaban atas semua keraguan masyarakat terhadap vaksin Covid-19 ini.

Pertama, mengenai efikasi atau kemujaraban vaksin Covid-19. Masih banyak masyarakat yang meragukan efikasi Covid-19 karena menurut pemaparan Penny K Lukito Kepala BPOM, efikasi Sinovac di Indonesia sebesar 65,3%. Angka ini jauh dari Brazil sebesar 78% dan Turki 91,25%. Sehingga, banyak masyarakat menganggap vaksin Covid-19 kurang manjur.

Menurut dr. Nadia, angka 65% itu didapat dari jumlah sampel yang digunakan di Indonesia hanya 1.500 sampel. Tingkat efikasi pun juga berdasarkan banyaknya sampel yang digunakan. Sampel di Indonesia, diakui dr. Nadia, memiliki jumlah yang jauh lebih sedikit dibandingkan Brazil yang hingga 15.000 sampel.

Ia juga menjelaskan, arti 65% efikasi vaksin Sinovac adalah, jika seseorang mendapat vaksin Sinovac, maka risiko dia sakit karena tertular Covid-19 turun menjadi 65%. Atau dalam arti lain, orang yang tidak mendapat vaksin Sinovac, berarti ia berisiko 3x lebih besar sakit karena tertular Covid-19.

Itulah mengapa, lanjutnya, suntikan vaksin Sinovac dilakukan dua kali. Tujuannya, untuk membentuk antibodi hingga 99%.

“Kenapa dua kali? Berdasarkan uji klinis tahap 3, kalau satu kali antibodinya belum terbentuk 95%. Tapi kalau dua kali suntik dengan rentan waktu 14 hari, maka (antibodi) menjadi 99%,” kata dr. Nadia dalam live yang disiarkan langsung di kanal Instagram @suarasurabayamedia, Facebook e100, Youtube Suara Surabaya dan Zoom.

Ia melanjutkan, meski efikasi Sinovac 65%, namun hal itu sudah sesuai dengan standar WHO karena angkanya sudah di atas 50%. Apalagi melihat laju pertumbuhan kasus Covid-19 di Indonesia yang terus bertambah, membuat vaksin menjadi alternatif solusi yang penting untuk segera dilakukan.

Sehingga dengan vaksin Sinovac yang tersedia ini, efikasi 65%, dirasa dr. Nadia, sudah cukup.

“Di masa pandemi saat ini, dengan kematian sebanyak 9 ribu orang, dengan setiap bulannya yang sakit 300 ribu orang (akibat covid), maka perlindungan yang katanya hanya 65% atau berkurang 3x ini kan sudah cukup untuk kita karena kita di situasi seperti ini,” tambahnya.

Kedua, dr. Nadia juga membantah kabar yang beredar bahwa vaksin dapat mengubah deoxyribonucleic acid (DNA). Ia menegaskan, bahwa vaksin Covid-19 sama dengan vaksin yang lain. Ia juga memastikan tidak ada efek samping berat terhadap orang setelah menerima vaksin Sinovac.

“Kita bukan pertama kali mendapat vaksin. Kalau kita melakukan ibadah haji atau umroh, diberi vaksin miningitis, apa kemudian kita berubah jadi mahluk lain? jadi alien? kan tidak. Jadi sama ini dengan vaksin lainnya,” tegasnya.

Ia juga meluruskan adanya kasus seseorang pascavaksinasi Covid-19 lalu meninggal dunia.

Kejadian itu terjadi pada Jumat (22/1/2021), saat dokter JF (49) yang ditemukan meninggal dunia di dalam mobil di pelataran mini market di kawasan Jalan Sultan Mansyur, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang. Berdasarkan keterangan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), reaksi syok pascavaksinasi atau anafilatik hanya berlangsung satu sampai dua jam setelah penyuntikan vaksin. Sedangkan JF mendapat vaksinasi sehari sebelumnya atau pada Kamis (21/1/2021).

“Kami mendapatkan info resmi bahwa almarhum ini kekurangan oksigen, jadi asumsi dokter meninggal karena serangan jantung dan ditemukan obat jantung di lokasi. Jadi dari kondisi tadi bukan disebabkan oleh vaksinasi,” ujarnya.

Lalu mengenai apakah vaksin dapat diperoleh secara mandiri, dr. Nadia mengatakan hal itu masih dalam pertimbangan. Memang ide awalnya, lanjutnya, bagaimana dunia usaha mau membantu pemerintah untuk mempercepat orang mendapat vaksinasi. Namun wacana vaksin mandiri tersebut masih terus dikaji.

“Tapi tentunya harus kita kaji lebih lanjut bagaimana keuntungan dan kerugian agar tidak ada persepsi yang salah di masyarakat,” tutunya.

Dalam live selama satu jam itu, dr. Nadia juga menjelaskan alasan mengapa penyintas tidak menjadi prioritas orang yang divaksinasi. Menurutnya, penyintas, apalagi bagi mereka yang mendapatkan donor plasma konvalesen, berarti mereka mendapatkan antibodi secara langsung.

Dengan kondisi pandemi di Indonesia saat ini masih tinggi, apalagi tersediaan vaksin yang masih terbatas secara global, maka vaksin diprioritaskan bagi mereka yang belum sama sekali mendapatkan antibodi.

“Tidak ada larangan, tapi pertimbangan kita penyintas kan udah punya antibodi, karena kita punya keterbatasan vaksin secara global agar lebih banyak orang punya antibodi. Maka yang belum punya antibodi sama sekali yang dibutuhkan,” imbuhnya.

Dengan lebih banyak masyarakat yang mendapatkan vaksinasi, maka kekebalan kelompok atau herd immunity akan lebih cepat terbentuk.(tin/lim)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs