Sabtu, 23 November 2024

Kadis P3AK Jatim: Penyitaan KTP Elektronik Inkonstitusional dan Melanggar Hak Warga Negara

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Petugas menyiapkan surat tilang KTP bagi pelanggar protokol kesehatan (tidak pakai masker) yang melintas di Bundaran Waru, Senin (11/1/2021). Foto: Abidin suarasurabaya.net

Andriyanto Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Jatim menegaskan, penyitaan KTP elektronik inkonstitusional atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan berpotensi mengambil hak warga negara.

“Kalau bisa tidak disita. Karena pada prinsipnya, KTP elektronik itu adalah kartu identitas penduduk yang secara konstitusi diatur undang-undang kependudukan. Fungsinya untuk mendapatkan pelayanan publik,” ujarnya.

KTP Elektronik yang diberikan kepada warga menjadi salah satu syarat warga bersangkutan untuk bisa menerima bantuan sosial pendidikan, mendapatkan pelayanan perbankan, dan urusan-urusan lain yang mensyaratkannya.

“Sehingga kalau KTP ini disita, masyarakat akan mengalami kesulitan dalam menuntut pelayanan publiknya. Dikhawatirkan juga, masyarakat itu menjadi meremehkan untuk mengambil itu,” katanya kepada suarasurabaya.net, Selasa (2/2/2021).

Banyak alasan, kata Andriyanto, yang membuat masyarakat enggan mengambil KTP yang disita. Misalnya, tidak kuat membayar denda atau mungkin karena alasan ribet dan sebagainya.

“Maka dia akan mencoba datang ke Dukcapil untuk memperbarui KTP-nya, mungkin bisa dengan alasan hilang, yang notabene, InsyaAllah relatif mudah meminta surat kehilangan dari kepolisian,” ujarnya.

Di sisi lain, bila KTP itu disita atau menjadi jaminan, menurut Andriyanto, hal itu akan membebani Satpol PP dalam hal menyimpan KTP milik masyarakat itu. Andriyanto terutama khawatir kalau KTP itu sampai tersimpan lebih dari tujuh hari.

“Kalau yang punya dalam tujuh hari itu mengambil tidak ada masalah. Tapi kalau lebih dari tujuh hari, bagaimana cara penyimpanan KTP yang merupakan hak konstitusional masyarakat ini?” Katanya. “Itu akan menjadi persoalan tersendiri.”

Andriyanto mengakui, dalam Undang-undang Kependudukan tidak diatur secara spesifik larangan penyitaan KTP Elektronik. Apalagi bila kebijakan itu sudah dilandasi sejumlah aturan seperti Peraturan Bupati, Wali Kota, atau Peraturan Daerah.

Asas yang digunakan, kata Andriyanto, adalah lex spesialis derogat lex generali atau asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum. Menurutnya itu boleh-boleh saja.

“Tapi harus dipahami bahwa memberi sanksi pelanggar protokol kesehatan dengan menyita KTP itu perlu dipertimbangkan. Intinya, penyitaan KTP itu dalam dalam sistem pemerintahan secara utuh integral dari pusat boleh saya katakan inkonstitusional,” ujarnya.

Dia menegaskan kembali, KTP elektronik adalah hak warga negara untuk mendapatkan pelayanan publik. Kalau tiba-tiba diambil begitu saja dengan alasan melanggar protokol kesehatan, menurutnya hal itu tidak bagus.

“Dalam hal sanksi saja, penyitaan KTP elektronik ini sebenarnya belum tentu memberikan efek jera. Dan bagi yang mengamati itu, juga belum tentu menjadi takut,” katanya.

Menurutnya, sanksi sosial dengan meminta pelanggar protokol kesehatan itu untuk membersihkan fasilitas umum atau push up seperti yang pernah diterapkan, kemudian ditimbang mempostingnya ke media sosial, itu akan lebih memberikan efek jera.

“Itu akan memberikan efek luar biasa, lho. Dia akan menjadi malu. Saya yakin itu. Wong kalau dia naik sepeda motor saja, kemudian plat nomornya dikeluarkan di media sosial itu saja sudah membuat dia malu. Itu sudah lebih dari cukup,” ujarnya.(den/dfn/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs