Alumni Pesantren Tarbiyatut Tholabah Paciran, Lamongan, sudah tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia, bahkan beberapa negara tetangga. Tidak semata melahirkan pribadi dengan kemampuan agama mumpuni, tetapi juga paham entrepreneurships.
Pesanttren ini tercatat sebagai pesantren tertua di Jawa Timur. Mereka tidak hanya sukses melahirkan banyak pemimpin umat di daerah asal masing-masing. Sebagian mereka juga sukses dalam berwira-usaha.
Ustadzah Siffati Rif’a, alumni pesantren Tarbiyatut Tholabah, yang sekarang dipercaya sebagai Kepala Lab. Pesantren bilang, bersama alumni yang lain bersinergi dengan pesantren, mengembangkan usaha batik tulis.
“Sudah ada alumni dari Tarbiyatut Tholabah yang punya usaha batik, kemudian memberdayakan masyarakat di lingkungan sekitar. Sementara untuk strategi pemasaran, Kami rajin mengikuti even-even yang digelar Pemerintah Daerah, Pemprov, juga OPOP Jatim,” urainya.
Tentang persaingan usaha, diyakininya jelas ada. “Apalagi batik tulis identik dengan Solo, Jogja, Pekalongan, dan kalau di Jawa Timur, Madura adalah pusatnya,” tambahnya.
Kita semua tahu sentra batik itu ada di Jawa Tengah dan sebagainya. “Di Lamongan ini bagian dari Jawa Timur, kalau kita ngarah ke Jawa Timur soal batik pasti larinya ke Madura. Ini menjadi tantangan bagaimana memunculkan atau menonjolkan ke khasan batik Lamongan, yang mungkin belum banyak diketahui orang,” ungkapnya.
Contohnya mengangkat motif Singo Mengkok, yang sangat khas daerah tersebut. Kabarnya kini sudah menjadi ikon kota lamongan, dan sedang dimunculkan kembali setelah sekian lama dilupakan. “Padahal Singo Mengkok itu pernah digunakan oleh Sunan Drajat (salah wali dari Wali Songo), sebagai media dakwah,” tegasnya.
Santri, nanti setelah kembali ke masyarakat, bukan hanya paham persoalan agama, tetapi juga persoalan ekonomi. Hal ini terjadi ketika pesantren menjembatani, mengakomodir segala bentuk potensi yang ada di alumni. Diyakini bisa menjadi alternative solusi pemberdayaan masyarakat di semua lapisan. Bagaimana menyiapkan calon-callon alumni yang siap menjadi bagian masyarakat. Yang mempunyai potensi tidak sekedar pengetahuan agama, tetapi juga paham bidang entrepreneur.
Sembari melihat para santri membatik, kami dapat cerita sejarah enterprenuer pesantren dari Ustadz Ali Mujib, pengurus Yayasan Tarbiyatut Tholabah.
“Pesantren Tarbiyatut Tholabah, berdiri tahun 1889, satu pengalaman yang tercatat dalam perjalanan Tarbiyatut Tholabah, jiwa entrepreneurship di sini itu sudah ada sejak lama. Pengggabungan entrepreneurship dan tradisi keagamaan sudah ada sejak awal,” kisah Ustadz Ali Mujib.
Konon, Mbah Mustofa, sang pendiri, ketika ngaji bersama murid-muridnya beliau sembari memilin tali. Tali-tali itu kemudian digunakan untuk menarik kapal atau perahu untuk kebutuhan melaut, dan terus ditekuni hingga kini. Hal itu menginspirasi generasi-generasi setelahnya.
“Tauladan dari para pendahulu pesantren telah mewariskan; mikir agama itu harus dibarengi dengan entrepreneur, untuk menunjang kelangsungan dakwah agamanya itu,” pungkasnya.(lim)