Sabtu, 23 November 2024

Waspadai Potensi Cuaca Ekstrem Hingga Februari 2021 Dampak Perubahan Iklim

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Ilustrasi, cuaca ekstrem. Grafis: suarasurabaya.net

Dwikorita Karnawati Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan, perkembangan musim hujan saat ini tidak lepas dari pengaruh Dampak Perubahan Iklim Global. Selain itu juga pengaruh kondisi iklim regional dan kondisi iklim/cuaca setempat (lokal).

Ia menambahkan, untuk keadaan iklim terkini, BMKG mencatat sebagian besar wilayah Indonesia yaitu 94 persen dari 342 Zona Musim saat ini telah memasuki musim hujan.

Seperti yang telah diprediksikan sejak Agustus 2020 lalu, Puncak Musim Hujan diprediksi terjadi pada Januari dan Februari 2021.

“Untuk itu tetap perlu terus diwaspadai terjadinya cuaca ekstrem hingga bulan Februari, bahkan masih mungkin terjadi pula hingga bulan Maret 2021 nanti,” kata Dwikorita dalam konferensi pers secara daring, Minggu (31/1/2021).

Herizal Deputi Klimatologi BMKG dalam rilis yang diterima suarasurabaya.net juga menambahkan, pada bulan Februari 2021 sebagian wilayah Indonesia diprediksi masih berada pada Puncak Musim Hujan.

Sehingga masih berpeluang mendapatkan curah hujan tinggi terutama di bagian timur Lampung, bagian tengah dan selatan DKI, bagian timur Jawa Barat, sebagian besar Jawa Tengah, sebagian Jawa Timur, bagian tengah Kalimantan, bagian utara Sulawesi Selatan, bagian utara Sulawesi Tenggara, serta bagian tengah Papua Barat dan Papua.

Analisis data iklim menunjukkan variabilitas spasial hujan yang cukup tinggi di wilayah Indonesia. Walaupun saat ini disebagian besar wilayah Indonesia berada pada periode curah hujan tinggi, namun beberapa wilayah tercatat mengalami curah hujan kriteria rendah.

Guswanto Deputi Bidang Meteorologi mengatakan, peningkatan trend curah hujan ekstrem ini selain dipicu oleh fenomena dan/atau gangguan skala iklim, dikaitkan juga sebagai dampak perubahan iklim.

“Dari pengamatan BMKG walaupun curah hujan berada pada tingkat sedang, namun masih berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi. Hal ini tergantung pada daya dukung lingkungan dalam merespon kondisi curah hujan,” kata Guswanto.

Misal jika terjadi banjir bandang, dikarenakan adanya tumpukan endapan longsor yang masuk ke lembah sungai dan juga adanya sisa-sisa penebangan pohon dibagian hulu, yang dapat menahan/membendung air.

Jika hujan terus berlangsung, kemudian akan menjebol bendung tumpukan endapan longsor dan ranting kayu tersebut, sehingga endapan dan ranting kayu hanyut dengan kecepatan tinggi, mengakibatkan banjir bandang di bagian hilirnya.

Demikian pula banjir dan genangan, selain akibat curah hujan tinggi, juga dapat diakibatkan kondisi permukaan yang tidak mendukung air meresap ke dalam tanah atau mengalir dengan cepat ke saluran-saluran yang semestinya.

Fenomena La Nina saat ini juga masih aktif dengan Indeks moderat yang mengarah ke kondisi lemah dan diprediksi menjadi normal pada bulan Mei 2021. Bahkan MJO yang merupakan pergerakan kumpulan awan-awan hujan dari Samodra Hindia sebelah Timur Afrika yang saat ini sedang melintasi wilayah Indonesia menuju Samodra Pasifik, juga berpengaruh dalam meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia.

Analisis terhadap frekuensi hujan lebat (> 50 mm/hari) menunjukkan kecenderungan tren meningkat (semakin sering terjadi) di banyak wilayah. Hal itu terindikasikan dari data-data dalam 40 tahun terakhir seperti di Jakarta, Surabaya, Mataram-Lombok, Ujung Pandang, Jayapura, Biak, Lhokseumawe, dan Medan.

BMKG memantau adanya bibit siklon tropis 93S di Samudera Hindia sebelah Barat Daya Sumatera dimana posisi sistem yang cukup jauh dari wilayah Indonesia dan arah gerak menjauhi wilayah Indonesia sehingga tidak memberikan dampak terhadap kondisi cuaca di wilayah Indonesia namun memberikan pengaruh berupa potensi hujan lebat, peningkatan kecepatan angin dan tinggi gelombang di Samudera Hindia Selatan Sumatera – Jawa Barat.

Selain itu juga terpantau sirkulasi siklonik di Teluk Carpentaria bagian barat yang membentuk daerah pertemuan dan perlambatan kecepatan angin (konvergensi) yang memanjang dari Sulawesi Tengah bagian selatan, perairan barat Sulawesi Tenggara, Laut Banda hingga Laut Arafura bagian barat.

Sirkulasi siklonik lainnya terpantau di Laut Cina Selatan sebelah barat Palawan. Kondisi tersebut mampu meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sekitar sirkulasi siklonik dan di sepanjang daerah konvergensi tersebut.

Daerah pertemuan dan perlambatan kecepatan angin (konvergensi) lainnya terpantau memanjang dari Thailand bagian selatan hingga perairan utara Kepulauan Mentawai, di Jawa Barat hingga Jawa Timur bagian barat, di perairan utara pulau Kalimantan hingga perairan timur Kalimantan Timur, di Bandar Seri Begawan bagian selatan hingga Kalimantan Selatan bagian utara, perairan utara Papua Barat hingga Papua Barat bagian timur dan di Papua bagian barat hingga Papua Nugini bagian barat yang mampu meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sepanjang daerah konvergensi tersebut.

Intrusi udara kering (dry air intrusion) di BBU terpantau melintasi Samudera Hindia barat Aceh hingga perairan utara Aceh yang mampu mengangkat massa yang lebih hangat dan lembab di depan batas intrusi yakni di Aceh dan Sumatera Utara bagian utara, sehingga mampu meningkatkan potensi pembentukan awan hujan di daerah depan batas intrusi tersebut.

Labilitas lokal kuat yang mendukung proses konvektif pada skala lokal terdapat di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan bagian barat, Lampung bagian barat, sebagian besar Jawa, NTB, NTT, Kalimantan barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, sebagian besar Sulawesi, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua.(tin/lim)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs