Pada Minggu (31/1/2021) kemarin, Joko Widodo Presiden menyebut penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) tidak efektif dalam menurunkan kasus Covid-19 karena implementasi yang tidak tegas dan tidak konsisten.
Menanggapi pernyataan tersebut, dr. Windhu Purnomo Ahli Epidemiologi UNAIR Surabaya mengatakan, PPKM saat ini menjadi pilihan karena Indonesia sudah kehilangan momentum di masa awal munculnya kasus Covid-19.
Ia juga menambahkan, apa yang disampaikan Jokowi Presiden sebenarnya sudah bisa diprediksi oleh para pakar. Karena saat perencanaan PPKM saja, menurutnya, tidak berdasarkan prinsip-prinsip pemutusan rantai penularan kasus.
dr. Windhu menyebut, Indonesia sudah memiliki pengalaman pembatasan beberapa waktu, yakni dengan diterapkannya PSBB. Pada saat PSBB, kegiatan non esensial tidak diperbolehkan beroperasi. Artinya, pembatasan lebih ketat dari PPKM, mesti pelaksanannya pun banyak yang kurang maksimal.
Namun sekarang, ia menyebut PPKM dari sisi perencanaan sudah tidak lebih ketat dari PSBB dan implementasinya tidak maksimal karena kepatuhan masyarakat untuk 3M juga berkurang hingga kurang dari 50%.
“Dulu kegiatan non esensial sama sekali tidak boleh, tapi sekarang bagaimana? tetap jalan,” kata dr. Windhu kepada Radio Suara Surabaya pada Senin (1/2/201).
Kedua, penerapan PPKM dilakukan secara parsial, tidak menyeluruh ke semua daerah. Padahal diluar itu, banyak daerah yang status wilayahnya zona merah.
Menurut dr. Windhu, penerapan PPKM juga tidak sesuai dengan peta epidemologi yang seharusnya update data kasus per daerah dilakukan per minggu.
“Dulu disebut-sebut PPKM Jawa-Bali pun secara parsial ternyata tidak menyeluruh hanya kabupaten/kota tertentu. Itu pun tidak sesuai dengan peta epidemologi yang seharusnya seminggu sekali diupdate, ini zona merah, kuning, nah itu tidak berdasarkan pada itu juga,” tambahnya.
Ia mengatakan, kebijakan PPKM saat ini adalah pilihan, bukan keharusan karena Indonesia sudah kehilangan momentum pada awal terjadinya kasus.
Jika pembatasan yang tidak maksimal ini terus dipaksakan, maka yang terjadi adalah pandemic fatigue, yakni kondisi dimana masyarakat kelelahan akan pandemi karena adanya ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi corona ini.
“PPKM itu opsi, bisa dilakukan bisa tidak karena kita sudah kehilang momentum atau yang kita sebut golden period pada 3-4 bulan pertama.Namun saat ini kasus sudah tidak terkendali,” ujarnya.
Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah lebih meningkatkan upaya case finding dengan memaksimalkan 3T (testing, tracing, treatment) untuk mencari sumber kasus. Karena menurut dr. Windhu, saat ini 3T di Indonesia masih sangat lemah.
Terutama dalam pengetatan kerumunan yang masih banyak terjadi di ruang-ruang pubik.
“Kerumunan itu yang sebenarnya betul-betul dikontrol secara masif agar bisa mencapai 15% (penurunan kasus) seperti yang disebutkan tadi,” ujarnya
Selain itu, penerapan 3M oleh masyarakat juga perlu ditingkatkan dan tidak menunggu kontrol dari petugas. Karena selama ini, saat petugas tidak lagi sering melakukan operasi, maka kesadaran masyarakat dalam menjaga protokol kesehatan kembali turun.
dr. Windhu mengingatkan, saat ini kasus Covid-19 di Indonesia seperti puncak gunung es. Kasus yang sebenarnya ada di masyarakat sebenarnya jauh lebih banyak dari yang terdata saat ini.
Untuk itu, menurutnya penting agar upaya 3T yang dilakukan pemerintah dibarengi dengan 3M oleh masyarakat agar kasus Covid-19 di Indonesia dapat ditekan.(tin/lim)