Alat deteksi Covid-19 melalui hembusan nafas yang dibuat oleh para ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM) sudah bisa digunakan untuk syarat perjalanan kereta jarak jauh di Stasiun Gambir dan Yogyakarta mulai Selasa (26/1/2021) kemarin.
Lalu, bagaimana sebetulnya awal mula terciptanya alat deteksi covid GeNose?
Prof. Dr. Panut Mulyono Rektor UGM kepada Radio Suara Surabaya menceritakan, GeNose adalah alat deteksi yang sebenarnya sudah ada sebelum pandemi Covid-19. Hanya saja, sebelumnya GeNose digunakan untuk mendeteksi zat narkotika dalam tubuh.
“Sebelum digunakan covid, penelitian kami (GeNose) digunakan untuk hal lain, seperti untuk mengendus narkotika, mengendus keaslian kopi dan lain-lain. Jadi sebetulnya sudah banyak digunakan untuk hal-hal lain,” kata Prof. Panut, Rabu (27/1/2021).
Namun setelah adanya pandemi, ia melihat masyarakat sulit mendapatkan tes Covid-19. Selain karena terbatasnya reagen, juga mahalnya biaya tes.
Akhirnya GeNose dikembangkan lagi melalui penelitian untuk bisa mendeteksi orang yang terpapar Covid-19 melalui hembusan nafas. Dan akhirnya, GeNose dianggap berhasil melakukan itu. Sensor yang ada di mesin GeNose dapat membedakan mana zat dalam karbondioksida (CO2) manusia yang terpapar Covid-19 atau tidak.
Cara Kerja GeNose dalam Mendeteksi Covid-19
GeNose digunakan dengan cara menghembuskan nafas ke kantong plastik, yang terhubung dengan mesin GeNose. Nafas tersebut nantinya ditangkap oleh sensor yang ada dalam mesin. Sensor bertugas untuk memberikan citra/gambar tentang partikel zat dalam nafas manusia. Data dari tangkapan citra dari sensor itulah yang kemudian diolah dengan bantuan kercerdasan buatan AI (Artificial Intelligence) untuk mendeteksi Covid-19.
Kemudian setelah 2-3 menit proses identifikasi data oleh AI akan muncul dalam keterangan, apakah seseorang itu positif Covid-19 atau tidak. Keterangan hasil tersebut dapat diatur jika ingin hasil dijaga kerahasiaannya.
“Itu basisnya komputer jadi kita bisa mengatur menunjukkan positif (+) atau negatif (-). Atau biar ada kerahasiaan bisa X atau Y, tergantung kita mau langsung atau tidak langsung,” papar Prof. Panut.
Setelah itu penelitian dan pengembangan selesai, alat GeNose lalu diujikan kepada orang yang terjangkit covid dan tidak. Data pasien covid tersebut didapatkan dari beberapa rumah sakit. Dan ternyata, hasil deteksi Covid-19 cocok dengan hasil PCR.
“Sasarannya orang-orang sini (Yogyakarta). Setelah kita dapatkan data penderita covid dan tidak, lalu alat ini kita ujikan. Kalau tidak salah ada 7 RS yang kita gunakan untuk mengetes itu. Lalu hasil GeNose dicocokkan dengan PCR, ternyata cocok,” paparnya.
“Data itu terus diakumulasikan kecocokan PCR dan GeNose. Prinsipnya, semakin banyak data, semakin akurat data (hasil),” tambahnya.
Pemesanan GeNose Membludak
Prof. Panut mengatakan, uji alat GeNose telah dilakukan sejak Mei 2020. Namun karena untuk mendapatkan izin edar dari Kementerian Kesehatan harus melalui banyak tahapan yang ketat, akhirnya 24 Desember barulah GeNose mendapatkan izin edar.
“Secara fisik maupun ilmiah semua diuji. Selalu ada syarat-syarat agar Kemenkes memberikan izin edar dan prosesnya panjang. Jadi memang prosesnya tidak mudah dan tidak sederhana karena ini terkait alat kesehatan,” lanjutnya.
Hingga kini, GeNose sedang proses untuk produksi massal dan memenuhi banyaknya permintaan dari masyarakat. Sampai hari ini, baru sekitar 200 alat yang sudah beredar. Namun pemesanan GeNose sudah mencapai ribuan.
Untuk itu, pihaknya saat ini sedang menargetkan pembuatan 5.000 unit GeNose untuk memenuhi permintaan pasar.
“Dari masyarakat luar biasa banyak, BUMN sudah ada 500 unit (pemesanan), kampus 200 unit karena agar bisa masuk lab atau kelas. Pesantren juga banyak sekali yang pesan, pemda-pemda di Jawa Tengah, dan kami harus memenuhi itu tantangan betul,” kata Prof. Panut.
GeNose Bisa Diperbaiki Kembali
Ia mengatakan, satu unit alat GeNose satu set (mesin dan kompter/AI) seharga kurang lebih Rp62 juta. Namun alat itu bisa digunakan hingga 100.000 kali. Dalam satu hari, satu mesin GeNose dapat beroperasi selama 6 jam dan dapat mendeteksi hingga 120 sampel. Sehingga, katakanlah, sehari ada 10 mesin GeNose, maka 10 Genose dapat mendeteksi 1.200 sampel sehari.
Setelah pemakaian 100.000 kali, GeNose dapat dipakai ulang asalkan melalui perawatan dan perbaikan (maintenance). Tujuannya untuk mengecek apakah sensor dan bagian-bagian lain dalam mesin GeNose masih berfungsi dengan baik.
“Setelah itu bisa di-recovery lagi, dilihat sensornya masih bagus tidak, aus tidak, daya deteksinya menurun tidak. Jadi bisa dimaintenance, bisa diperiksa,” katanya.
Saat ini, lanjut Prof. Panut, produksi GeNose dilakukan oleh 5 perusahaan untuk membantu penyediaan komponen, satu perusahaan milik UGM dan empat perusahaan luar UGM. Perusahaan tersebut antara lain PT Nanosense Instrument Indonesia, PT Yogya Presisi Tehnikatama Industri, PT Stechoq Robotika Indonesia dan PT Hikari Solusindo Sukses.
Komponen-komponen yang diproduksi oleh empat perusahaan tersebut nantinya dirakit oleh PT Swayasa Prakarsam dan UGM Science Techno Park.
“Masing-masing punya kompetensi di bagian penyediaan sistem instrumen dan produksi di bagian modul mekanik, hyperfilter, kantong plastiknya, automatisasi asesoris, digabung-gabung dan dirakit-rakit di UGM Science Techno Park,” lanjutnya.
Saat ini, pihaknya sedang berusaha untuk mempercepat proses produksi agar permintaan masyarakat dapat dipenuhi. Selain itu, UGM juga sedang mendaftarkan hak paten atas GeNose.
“Akhirnya kita bisa, terbukti ‘oh ini memang baik’ dan hingga memperoleh izin edar. Kita sedang patenkan. Secara prinsip, ownernya oleh dosen UGM, teknologinya UGM. Tapi kemanfaatannya untuk bangsa,” tutup Panut.(tin/lim)