Provinsi Jawa Timur (Jatim) kembali menjadi wilayah dengan tambahan kasus meninggal paling banyak pada Minggu (24/1/2021). Berdasarkan laporan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, angka kematian di Jatim bertambah 56 orang.
Menanggapi hal itu, dr Joni Wahyuhadi Ketua Satgas Kuratif Covid-19 Jatim mengatakan kematian Covid-19 perlu didefinisikan dengan jelas. Di mana WHO mengonklusikan bahwa angka perkiraan kematian akibat virus Covid-19 sekitar 2-3 persen.
Namun angka tersebut bisa menjadi tinggi, jika pasien adalah lansia dan disertai komorbid atau penyakit penyerta.
“Kalau lihat data di BPJS, sebetulnya masyarakat Indonesia banyak disertai komorbid. Penting sekali menurut saya adanya suatu riset harus dilakukan multicenter, apa yang disebut kematian dengan Covid-19. Apakah Covid-19 itu sebagai penyebab utama atau associate (pemicu, red), dan ada juga Covid-nya negatif tapi klinis masih perlu perawatan dan meninggal. Ini perlu ada definisi yang jelas,” kata dr Joni saat mengudara di Radio Suara Surabaya, Senin (25/1/2021).
Menurutnya, banyak hipotesis tentang kenaikan kasus Covid-19. Salah satunya, bisa jadi karena banyaknya jumlah orang tanpa gejala (OTG) yang beraktivitas di luar.
Untuk itu, pihaknya mengusulkan agar Jatim menyediakan Laboratorium Biosafety Level 3 (BSL-3). Hal itu berguna untuk memastikan pasien yang positif tanpa ada gejala klinis kemudian dilakukan tes kultur, untuk mengetahui apakah masih berpotensi menularkan atau tidak.
“Banyak hal mengenai kasus Covid-19. Salah satunya mungkin banyaknya OTG di luar isolasi, yang kita tahu masih bisa menularkan. Jatim pernah mengusulkan ada laboratorium BSL 3 yang bisa dipakai untuk memastikan pasien positif tanpa gejala dilakukan kultur. Dengan itu bisa dipastikan menular apa tidak, fragmen virus aja atau virusnya masih hidup,” kata dia.
Selain OTG, kata dr Joni, hal lainnya yaitu adanya strain baru Covid-19 yang penularannya 70 persen lebih cepat. Namun pihaknya belum bisa memastikan terkait keberadaan strain baru Covid-19 di Indonesia dan Jatim.
“Ada beberapa macam hipotesis dan ini belum menjadi bahan pertimbangan kita,” ujarnya.
Kendati demikian, dr Joni menyebut penggunaan BOR (Bed Occupancy Ratio) di ruang isolasi dan Intensive Care Unit (ICU) mulai menurun. Jika sebelum pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) keterisiannya mencapai 79 persen, kini turun menjadi 69 persen.
“Sesuai protokol kesehatan yang ada untuk saran pelayanan bagi masyarakat terdampak Covid-19, ada ruang karantina, isolasi, RS Darurat dan RS rujukan. RS Darurat itu ditujukan untuk bagi yang ringan, yaitu tidak bergejala, positif, tidak bisa isolasi mandiri di rumah. Yang gejala sedang sampai berat itu di rumah sakit. Jadi distribusi penanganan ini penting, supaya rumah sakit bisa konsen untuk menangani yang sedang sampai berat,” jelasnya.
Terkait hasil evaluasi PPKM tahap pertama yang berlangsung mulai 11-25 Januari, kata dia, sudah ada penurunan kasus Covid-19 di Jatim. Begitu juga dengan keterisian tempat tidur di rumah sakit.
dr Joni menambahkan, untuk PPKM tahap selanjutnya, ada beberapa hal yang perlu ditekankan. Di antaranya, penguatan peran masyarakat seperti Kampung Tangguh yang perlu digiatkan kembali, operasi yustisi untuk penegakan protokol kesehatan, dan penguatan 3T (Tracing, Testing, Treatment).
“Dari ketiga kegiatan itu, akan dilihat dari 4 parameter. Apakah ada penurunan kasus aktif, penurunan angka kematian, penurunan kasus baru dan peningkatan angka kesembuhan. Secara epidemiologi kabupaten/kota di Jatim sudah bagus, cuma ada yang perlu penekanan. Nanti sore kita evaluasi lebih lanjut,” kata dia. (ang/lim)