Polda Jatim meringkus IMB (25) seorang mahasiswa atas tuduhan pemalsuan surat rapid test antigen. Pria kelahiran Jember itu diduga menjual surat rapid test antigen tanpa pemeriksaan medis. Surat hasil rapid test antigen palsu tersebut dijual dengan harga mulai Rp50 ribu hingga Rp200 ribu.
“Pemalsuan dan memanipulasi data hasil rapid test antigen yang tanpa dilakukan pemeriksaan medis. Ditawarkan melalui melalui media sosial Facebook,” ujar Kombes Pol. Farman Dirreskrimsus Polda Jatim, di Mapolda Jatim, Surabaya, Senin (11/1/2021).
Farman mengatakan, pengungkapan kasus tersebut bermula dari laporan masyarakat terkait adanya jual beli surat rapid test antigen tanpa dilakukan pemeriksaan medis. Berdasarkan laporan tersebut, polisi langsung melakukan pendalaman dan mampu menangkap pria berinisal IMB ini.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, tersangka mengaku menjalankan aksi terlarangnya mulai awal Desember 2020. Mulanya, tersangka menjual surat rapid test palsu untuk kepentingan Pilkada serentak. Tersangka yang juga bertugas sebagai Panitia Pengawas Kecamatan Pilkada serentak 2020, menjual surat tersebut kepada Pengawas Tempat Pemungutan Suara.
“Pengawas TPS itu kan harus ada bukti bebas Covid-19. Kemudian ada sekitar 27 orang Pengawas TPS yang terindikasi reaktif. Oleh yang bersangkutan dibuatkan 24 lembar hasil rapid test tanpa pemeriksaan medis yang dijual R 50 ribu,” ujar Farman.
Setelah pelaksanaan Pilkada serentak, tersangka pun masih menawarkan surat hasil rapid test antigen palsu melalui media sosial Facebook miliknya. Per lembar dijual dengan harga Rp200 ribu. Di luar untuk kepentingan Pilkada serentak, yang bersangkutan berhasil menjual 20 lembar, untuk kepentingan perjalanan baik darat maupun udara.
“Surat rapid test antigen palsu itu mengatasnamakan laboratorium klinik Nur Syifa Jember. Memang ada di Jember namanya laboratorium klinik Nur Syifa,” ujar Farman.
Dari kegiatan terlarangnya, tersangka mendapat keuntungan sekitar R 1,9 juta. Dari tangan tersangka, kata Farman, petugas mengamankan barang bukti berupa satu unit laptop dan satu unit telepon genggam. Tersangka terancam Pasal 52 Jo Pasal 35 UU ITE dengan ancaman 12 tahun penjara dan denda Rp12 miliar, Jo Pasal 263 KUHP dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara.(bid/iss/ipg)