Produksi kedelai lokal Jawa Timur pada 2019 anjlok. Dari 0,24 juta ton pada 2018 menjadi 0,12 juta ton. Padahal kebutuhan kedelai tetap sama, 0,44 juta ton per tahun. Penurunan produksi kedelai ini memperparah defisit kedelai di Jawa Timur. Dari hanya 0,20 ton pada 2018 menjadi 0,32 juta ton pada 2019.
Keadaan ini dikeluhkan oleh sejumlah lapisan masyarakat, mulai dari produsen, pedagang hingga konsumen.
Budi Susanto, pendengar Radio Suara Surabaya pada Sabtu (2/1/2021) mengeluhkan, “Kalau sekarang tempe langka dicari dan dijadikan kesempatan, tapi kalau ada disia-siakan.”
Bang Jarwo, produsen Tempe Bang Jarwo dari Putat Jaya kawasan eks lokalisasi Dolly bahkan menghentikan suplai tempenya ke konsumen. Ia hanya menyuplai untuk pedagang di pasar tradisional. Karena kenaikan harga kedelai mencapai 30 persen.
Muhammad Nasirul, pedagang tempe yang biasanya kulakan dalam skala besar mengeluhkan sama. Ia bercerita, kemarin ia mengambil dagangan di Pasar Mangga Dua Wonokromo. Tiga hari sebelumnya, ia mendapati edaran dari pengusaha yang isinya kenaikan harga. Ia berpindah-pindah dari satu ke lapak lainnya, kenaikan harga bervariasi mulai dari Rp 300 sampai Rp 500.
“Produsen skala besar itu biasanya nyetok. Semuanya pasti nyetok dalam skala besar. Nah yang mau saya tanyakan, ini mau naikkan harga atau memang langka,” keluhnya.
Menurut Hadi Sulistyo Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Distan) Jatim, Jawa Timur selalu minus bawang putih dan kedelai.
Kelangkaan kedelai, menurut Hadi, karena kedelai termasuk tanaman sub tropis yang budidayanya membutuhkan biaya yang cukup besar sehingga banyak petani yang beralih ke komoditi lain.
Selain itu menurutnya, skala produksi sampai bulan Desember minus 31.000 karena kebutuhannya sebesar 447.912, sehingga terjadi jadi minus produksi yang diperkirakan menjadi alasan naiknya harga kedelai.
Faktor lainnya, kata Hadi, karena kondisi cuaca kering di Amerika. “Amerika sebagai produsen kedelai menjadi salah satu faktor utama, kenaikan harga seiring dengan kekeringan dapat menyulitkan kondisi dan pasokan,” ungkapnya saat mengudara di Radio Suara Surabaya, Sabtu (2/1/2021).
Selain itu gelombang kedua Covid-19 di banyak negara produsen membuat terhambatnya ekspor impor kedelai. Di dalam negeri, pembatasan wilayah yang terjadi membuat distribusi antarwilayah tersendat. Serta faktor turunnya daya beli masyarakat sehingga harga ikut terkontraksi.
Pihaknya berupaya dengan berkoordinasi bersama pihak-pihak terkait agar kelangkaan kedelai dapat segera diantisipasi. “Dengan adanya temuan di lapangan seperti ini kami akan berkoordinasi dengan Dinas Pertanian Kabupaten/Kota, Disperindag Kabupaten/Kota, dan Satgas Covid kalau ada hambatan di lapangan tentang keluar masuknya kedelai ini.”
Pemprov Jatim pun melakukan sejumlah langkah supaya panen kedelai di Jatim pada 2020 memenuhi target penambahan jumlah 254.317 ton.
Pemprov akan melakukan kerja sama perluasan area tanam, sosialisasi pola tumpang sari ke petani, dan mendorong industri olahan memakai kedelai lokal.
“Kami mendorong semua pihak agar ke depan memilih untuk memanfaatkan kedelai hasil panen petani lokal,” ujarnya.
Data dari Siskaperbapo Disperindag, harga kedelai di tingkat produsen rata-rata di Jatim Rp 6.481, di tingkat konsumen Rp 9.178.(dfn/ipg)