Burhanudin Muhtadi Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia mengatakan kalau pelarangan aktivitas Front Pembela Islam (FPI) bukan langkah yang tepat.
Menurut Burhan, pelarangan tersebut tidak akan bisa menghentikan ideologi, karena ideologi tidak akan mati dengan membubarkan organisasi.
“Saya lebih sering berbeda pendapat dengan FPI. Tapi membubarkan dan melarang aktivitas FPI bukanlah langkah yang tepat. Ideologi takkan mati dengan pembubaran organisasi,” ujar Burhan dalam akun twitternya @BurhanMuhtadi Rabu malam, (30/12/2020).
Cuitan Burhanudin Muhtadi dibalas oleh Tom Pepinsky (@TomPepinsky). Dia mengatakan, pembubaran FPI adalah error strategis melawan radikalisme yang menunjukkan kelemahan demokrasi Pancasila di Indonesia.
Hal yang tidak jauh beda juga dikatakan Saidiman Ahmad (@saidiman) dalam membalas cuitan Burhanudin Muhtadi. Dia mengatakan, yang tidak perlu dilakukan adalah menambah daftar organisasi yang dilarang melakukan aktivitas.
Kalau dalam aktivitas mereka ada pelanggaran hukum, maka aktivitas itu saja yang diproses. Jangan untuk menangkap seekor tikus, satu lumbung dibakar.
Sekadar diketahui, pasca pembubaran Front Pembela Islam (FPI) oleh pemerintah, kini muncul wadah baru yang dideklarasikan oleh anggota-anggota yang pernah menjadi pengurus Front Pembela Islam.
Azis Yanuar Wakil Sekretaris Umum DPP FPI dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Rabu malam, (30/12/2020) mengatakan wadah baru yang mereka deklarasikan adalah Front Persatuan Islam yang disingkat FPI juga.
“Iya kami membuat wadah baru pengganti Front Pembela Islam dengan nama Front Persatuan Islam yang tetap disingkat FPI,” ujar Azis.
Menurut dia, struktur organisasinya tidak mengubah struktur yang ada di Front Pembela Islam.
“Jadi bukan berubah tapi ini kendaraan baru kita untuk melanjutkan pergerakan perjuangan membela agama, bangsa dan negara Indonesia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, dan kita sudah deklarasikan baru saja di sebuah tempat di Jakarta,” jelasnya.
Front Persatuan Islam menyebut bahwa pembubaran organisasi masyarakat maupun partai politik sudah pernah terjadi pada era Nasakom, pada era Nasakom tersebut sasaran pembubaran juga adalah Ormas dan Parpol yang menentang terhadap Rezim Nasakom, terutama Ormas dan Parpol Islam. Jadi pelarangan FRONT PEMBELA ISLAM saat ini adalah merupakan de javu alias pengulangan dari Rezim Nasakom yang lalu.
Keputusan Bersama melalui enam Instansi Pemerintah dipandang sebagai bentuk pengalihan issue dan obstruction of justice (penghalang-halangan pencarian keadilan) terhadap peristiwa pembunuhan 6 anggota Front Pembela Islam dan bentuk kedzaliman yang nyata terhadap rakyat sendiri.
Keputusan Bersama Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri dan BNPT merupakan pelanggaran terhadap Konstitusi Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, Pasal 24 Undang- Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Putusan Mahkamah Konstitusi 82/PPU-XI/2013. Bahwa hak berserikat adalah Hak Asasi Manusia yang hanya boleh dikurangi dalam keadaan darurat.
Bahwa berdasarkan UU No. 17 Tahun 2014 jo. UU No. 16 Tahun 2017 Pasal 80, bahwa Keputusan bersama enam Instansi Pemerintah adalah tidak berdasar hukum. Karena, Pasal 80 hanya mengatur Ormas berbadan hukum, dan itupun melalui pencabutan status badan hukum.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi 82/PPU-XI/2013, dalam pertimbangan hukum halaman 125 menyatakan, “Suatu ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat instansi pemerintah yang berwenang untuk itu. Sebaliknya berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi tidak dapat menetapkan Ormas tersebut Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum.”
Dengan demikian pelarangan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Karena keputusan bersama tersebut telah melanggar konstitusi dan bertentangan dengan hukum, maka secara substansi keputusan bersama tersebut tidak memiliki kekuatan hukum baik dari segi legalitas maupun dari segi legitimasi.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak penting dan benturan dengan rezim, maka mereka mendeklarasikan FRONT PERSATUAN ISLAM untuk melanjutkan perjuangan membela Agama, Bangsa, dan Negara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.(faz/dfn/ipg)