Kemacetan di Kota Malang dinilai lebih tinggi dibandingkan kemacetan yang terjadi di Ibu Kota Provinsi Jawa Timur, Surabaya. Pengendara harus menghabiskan waktu selama 45 jam dalam setahun di tengah macet, dengan persentase keseluruhan mencapai 23 persen.
Penyediaan sistem transportasi terintegrasi dan upaya menekan jumlah penggunaan kendaraan pribadi dinilai bisa menjadi salah satu solusi untuk mengurai kemacetan yang kerap terjadi di wilayah Malang Raya, kata peneliti.
Imma Widyawati Agustin peneliti dan dosen Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Brawijaya Malang dilansir Antara di Malang, Jumat (18/1/2019), mengatakan bahwa wilayah Malang Raya bisa mengadopsi skema transportasi yang dikembangkan seperti di Jepang dan Singapura.
“Bisa mengadopsi dari Jepang dan Singapura. Keduanya memiliki pola yang sama dengan Kota Malang,” kata Imma.
Kesamaan pola yang dimiliki oleh Jepang dan Singapura dengan Kota Malang adalah pola grid, yakni sistem pola jalan bersudut dan memberikan bentuk segi empat, di mana bagian-bagian kotanya dibagi sedemikian rupa menjadi blok-blok, empat persegi panjang dengan jalan-jalan yang pararel.
Imma menjelaskan, setidaknya ada dua sistem yang bisa diterapkan di wilayah Malang Raya, khususnya Kota Malang. Penerapan kedua sistem tersebut harus memiliki infrastruktur yang memadai dan harus disiapkan Pemerintah Kota Malang.
Sistem pertama yang bisa diadopsi untuk menyelesaikan permasalahan kemacetan di Kota Malang adalah penerapan Transit Oriented Development (TOD) atau pengembangan kota yang mengadopsi tata ruang campuran dan memaksimalkan penggunaan angkutan massal.
Kemudian, penerapan Transportation Demand Management (TDM) atau upaya penerapan kebijakan untuk memaksimalkan efisiensi sistem transportasi perkotaan melalui pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. Para pelaju tersebut nantinya bisa memanfaatkan moda transportasi yang terintegrasi.
“Jadi, solusi mengatasi kemacetan Kota Malang, Kota Batu, dan Kabupaten Malang sebenarnya adalah penerapan TDM dan TOD,” ujar Imma.
Imma menambahkan, untuk menerapkan kebijakan tersebut perlu infrastruktur pendukung guna mengintegrasikan antarmoda, seperti moda transportasi umum, trotoar untuk pejalan kaki, dan jalur bersepeda. Selain itu, juga diperlukan fasilitas pelengkap lainnya seperti manajemen parkir.
Moda transportasi yang bisa diterapkan di wilayah Malang Raya adalah rel komuter, Mass Rapid Transit (MRT) atau kereta api kota, termasuk kereta gantung yang difokuskan untuk mengakomodasi tempat-tempat wisata yang ada di wilayah tersebut.
MRT bisa dijadikan moda penghubung ke bandara. Sementara komuter bisa mengakomodasi para pelaju dari daerah pinggir dan luar Kota Malang.
Namun, berbeda dengan Jakarta, untuk Kota Malang tidak bisa menerapkan moda transportasi Bus Rapid Transit (BRT) atau yang biasa dikenal dengan busway. Selain itu, transportasi umum seperti angkutan perkotaan masih tetap bisa dipertahankan, dengan meningkatkan kinerja pelayanan dan operasional.
Sejauh ini, upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Malang baru sebatas pemberlakuan rekayasa lalu lintas, manajemen kapasitas kendaraan seperti pengaturan lampu lalu lintas, dan pelebaran jalan. Upaya tersebut sering tidak berjalan dengan baik, karena tingginya volume kendaraan yang melintas.
Langkah rekayasa arus lalu lintas juga sering tidak efektif, karena pengendara kendaraan bermotor cenderung mengabaikan peraturan yang diterapkan.
Berdasarkan survei dari Inrix pada 2017, Kota Malang menempati posisi ketiga sebagai kota termacet di Indonesia, di bawah Jakarta dan Bandung. Inrix mengumpulkan data dari 1.360 kota di 38 negara.(ant/tin/ipg)