Sabtu, 23 November 2024

Surabaya Megapolitan, Semangat Awal Proyek Pembangunan Gerbangkertosusila

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Emil Elestianto Dardak Wakil Gubernur Jawa Timur. Foto: Dok/Denza suarasurabaya.net

Emil Elestianto Dardak Wakil Gubernur Jawa Timur bercerita, proyek prioritas yang sekarang termuat di Peraturan Presiden 80/2019, bermula dari niat membangun Surabaya Megapolitan.

Emil memaparkan ini kepada Pengurus dan Anggota Dewan Pengurus Daerah (DPD) Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) Jatim, dalam acara seminar dan diskusi pembangunan Jatim, beberapa waktu lalu, di Surabaya.

Dia kembali menceritakan proses pembahasan Perpres 80/2019 oleh Khofifah Gubernur Jatim dengan Joko Widodo Presiden dalam rapat terbatas di Istana Negara. Saat itu, Khofifah sebenarnya siap dengan sejumlah proyek.

“Bu Khofifah itu bawa berkas segini (sembari menunjukkan tinggi tumpukan berkas yang dibawa Khofifah dengan tangannya). Tapi Pak Presiden bilang, ‘tiga saja’. Lalu kami mikir,” kata Emil saat itu.

Saat itu, Khofifah bersama dirinya pun menyimpulkan, kalau Presiden hanya meminta tiga proyek saja, berarti mereka tidak bisa hanya usul tiga proyek tunggal. Melainkan tiga kesatuan proyek.

Jadilah Perpres 80/2019 yang disahkan Presiden memuat Percepatan Pembangunan Ekonomi tiga wilayah: Gerbangkertosusila, Bromo-Tengger-Semeru, dan Selingkar Wilis.

Emil pun menjabarkan satu per satu tujuan dan semangat tiga klaster proyek prioritas di Jatim itu kepada para Pengurus dan Anggota Inkindo Jatim. Satu hal yang menarik, latar belakang pemilihan Gerbangkertasusila.

Khofifah dan dirinya memilih Gerbangkertosusila berangkat dari fakta bahwa enam wilayah itu (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan) menyumbang 46-47 persen perekonomian di Jawa Timur.

Namun, Emil bilang, sebenarnya yang lebih awal lagi, mereka berangkat dari fakta bahwa perputaran ekonomi terbesar di Jatim ada di Kota Surabaya. Yakni mencapai 25 persen.

“Kenapa sampai segitu? Padahal penduduknya cuma 3,5 juta. Jatim penduduknya 40 juta. Karena yang beraktifitas dan menggerakkan ekonomi di Surabaya daerah-daerah lain juga,” katanya.

“Jadi kalau ekonomi Surabaya maju, jangan cuma mikirin yang KTP Surabaya. Surabaya bisa maju karena banyak yang KTP-nya luar Surabaya beraktivitas di sini. Karena itu Surabaya tidak bisa dipisahkan dari sekitarnya,” ujarnya.

Daerah sekitar atau yang biasa disebut greater Surabaya antara lain Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, dan Pasuruan. Lima daerah di Jatim itu biasa dikenal Kawasan Ring 1 yang menurut Emil menyumbang 50 persen perekonomian di Jatim.

“Inilah satu kesatuan sistem. Karena itu sistem ini harus solid. Harus benar-benar terpadu,” katanya. “Ini kenapa Perpres 80 kemudian kami mikir. Iya, Surabaya harus dikelola sebagai Megapolitan dulu,” ujarnya.

Maka yang terpikir oleh Khofifah dan Emil saat itu, tema pembangunan pertama di Jatim adalah Megapolitan Surabaya. Gayung bersambut, dalam waktu yang singkat, Emil dan Khofifah menemukan fakta pendukung lainnya.

“Kemudian kami cari cantolan. Oh, Ternyata di Undang-Undang Tata Ruang Wilayah Nasional, ada kawasan strategis metropolitan di Jawa Timur yang namanya Gerbangkertasusila,” ujarnya.

Kawasan itu, menurut Emil, masih strategis karena menyumbang 46-47 persen ekonomi Jatim seperti disebut sebelumnya. Ditambah lagi, kesatuan itu mengikutsertakan Bangkalan.

“Sehingga dengan adanya percepatan pembangunan di wilayah Gerbangkertasusila ini Madura menjadi bagian dari sistem ini dan ikut terangkat,” ujarnya.

Membangun Konektivitas Antarwilayah dengan Double Track

Salah satu yang menurut Khofifah dan Emil menentukan soliditas wilayah Gerbangkertasusila adalah sistem transportasi massal yang terpadu dan mampu mengoneksikan satu sama lain.

Masalah yang ada, kata Emil, meskipun sudah banyak rel kereta api double track yang terbangun di Jatim, sistem rel di tengah Kota Surabaya ternyata sebagian besar masih single track.

“Seperti di Stasiun Pasar Turi, Surabaya kota, Surabaya Gubeng, masih single track. Jadi bottle neck. Padahal Jombang ke utara sudah double track. Nah, yang di dalam kota yang kita butuh mobilitas tinggi justru masih single track,” ujarnya.

Itulah yang menurut Khofifah dan Emil menyebabkan keterbatasan kapasitas transportasi publik di Surabaya dan menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.

Khofifah dan Emil pun bermaksud mengembangkan sistem transportasi publik dengan kapasitas besar dan waktu tunggu yang singkat dengan berbagai alternatif konsep yang sudah diteliti sejumlah lembaga luar negeri.

“Mari kita bayangkan kalau misalnya kereta itu bisa lebih cepat perjalanannya, tiap beberapa menit ada kereta. Kira-kira orang Surabaya tertarik enggak naik kereta? Apalagi transportasi ini jauh lebih nyaman,” ujarnya.

Emil bilang, EFW, sebuah lembaga atau perusahaan transportasi asal Jerman telah melakukan studi peningkatan kapasitas kereta api untuk mengoneksikan kawasan Gerbangkertosusila.

Hasilnya, perlu adanya rekonfigurasi transportasi publik di dalam kota di Surabaya, termasuk penataan stasiun dan penempatan rel supaya transportasi publik berbasis rel ini menjadi efisien.

“Jadi nanti transportasi ini akan menghubungkan Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, sampai Mojokerto. Rekonfigurasi ini nanti akan meningkatkan 3 kali kapasitas kereta,” ujarnya.

Emil memperkirakan, dengan adanya rekonfigurasi transportasi massal berbasis rel di kawasan Gerbangkertosusila ini, setiap 15 menit sekali akan ada kereta yang datang di stasiun.

“Waktu tempuh kereta untuk perjalanan dari satu tempat ke tempat lain juga bisa berkurang lebih dari 30 persen. Tapi bayangkan kalau ini jadi tanpa memikirkan persimpangan sebidang,” ujarnya.

Dia meminta Pengurus dan Anggota Inkindo Jatim membayangkan bagaimana situasi kemacetan di Jalan Ahmad Yani ketika kapasitas kereta api di dalam kota sudah meningkat tiga kali lipat.

“Kereta lewat, baru mau lewat perlintasan, kereta lewat lagi. Jadi kita harus memikirkan persimpangan sebidang ini. Pilihannya bisa underpass atau flyover. Atau dengan konsep elevated,” ujarnya.

Konsep elevated (melayang) itu, menurut Emil, bisa diterapkan sebagai alternatif pembangunan rel kereta. Terutama untuk kawasan dari Stasiun Wonokromo sampai ke Waru, yakni dengan elevated track.

“Nah, Inilah hal-hal yang perlu dijawab dalam pengembangan kawasan Surabaya Raya. Greater Surabaya. Bagaimana Surabaya, Gresik, Sidoarjo bisa berinteraksi secara efisien,” ujarnya.

Dengan adanya transportasi publik terpadu di Surabaya, Kota Pahlawan ini akan mungkin menjadi Megapolitan. Tentunya didukung pembangunan jalan rayanya, dalam hal ini jalan lingkar dalam maupun luar, seperti di Jakarta.

“(Lewat proyek Gerbangkertosusila) kami ingin Surabaya menjadi pusat penggerak ekonomi terbesar kedua di Indonesia. Provinsi Jatim ini sangat berpotensi menjadi penggerak ekonomi terbesar kedua di Indonesia setelah DKI Jakarta,” kata Emil.

Untuk mewujudkan Surabaya Megapolitan sebagai pengungkit pembangunan daerah lain di Gerbangkertosusila termasuk Madura, Emil menegaskan, infrastruktur menjadi prasyarat penting.(den/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs