Jumat, 22 November 2024

Novembre Numérique, Indahnya 70 Tahun Indonesia dan Prancis

Laporan oleh J. Totok Sumarno
Bagikan
Satu diantara karya seni yangditampilkan seniman Surabaya di 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia - Prancis. Potongan video. Foto: IFI

Institut Prancis di Indonesia, Institut Français Indonesia (IFI) dan Alliances Françaises Indonesia (AF) gelar pembukaan Pameran Seni Media, Novembre Numérique bertema Arus Memori (Flux de mémoire) memperingati 70 tahun hubungan Diplomatik Indonesia – Prancis.

Pameran Seni Media, Novembre Numérique mempertemukan seniman Indonesia Adhika Annissa (Denpasar), Arum Dayu (Yogyakarta), Evi Ovtiana (Medan), Illumi (Surabaya), Mira Rizki (Bandung), Raslene (Jakarta), dan seniman Prancis Gaëtan Trovato pada Jumat (27/11/2020) dan disiarkan langsung dari IFI Bandung dan diakses secara daring.

Para seniman mempertemukan gedung-gedung bersejarah dengan konteks lokal melalui penafsiran metaforis, puitis dan romantis.

Sejalan dengan pameran tersebut dijadwalkan digelar diskusi jarak jauh mengenai strategi artistik warisan budaya dan multimedia dengan pembicara dari Centre des Monuments Nationaux, badan pelestarian monumen nasional dan koleksi di bawah Kementerian Kebudayaan dan Komunikasi Republik Prancis serta dari AskMona, komunitas inovasi kecerdasaan buatan (artificial intelligence) dalam pelayanan seni dan budaya.

Novembre Numerique diadakan di pusat-pusat kebudayaan Prancis di berbagai negara dengan tujuan mempromosikan kolaborasi internasional dan eksplorasi bentuk-bentuk baru penciptaan. Di tiap negara seniman Prancis bekerjasama dengan seniman lokal untuk menciptakan karya dan mengurai perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini mencakup kesetaraan gender, demokrasi partisipatoris, transhumanisme, robotika, penyebaran pengetahuan, bahasa dan budaya,” terang Abdramane Kamate Atase Kerjasama Budaya Kedubes Prancis di Jakarta, Jumat (27/11/2020).

Di Indonesia, menurut kurator pameran Ayos Purwoaji, terpilih 6 seniman perempuan sebagai upaya memberikan panggung bagi perupa perempuan di Indonesia yang jumlahnya terus bertambah.

“Selain memberi spotlight, pemilihan seniman perempuan juga dilakukan untuk memberi sudut pandang lain mengenai heritage yang selama ini dianggap terlalu maskulin,” papar Ayos Purwoaji.

Tema Arus Memori menurut Ayos, terinspirasi dari diskursus kritis heritage yang memandang memori kolektif bersifat cair dan terus bergerak mengikuti konteks zaman, sementara obyek heritage kebanyakan bersifat fisik yang dijaga dan dilindungi keasliannya.

“Pada suatu saat, memori kolektif masyarakat bisa saja bergeser dan benda-benda yang tadinya dianggap heritage tidak lagi mencerminkan memori kolektif masyarakat. Buktinya, kita bisa lihat belakangan ini berbagai monumen dirobohkan dan koleksi museum dari masa kolonial dikembalikan ke komunitas asalnya,” kata Ayos.

Mengutip sejarawan Kuntowijoyo yang mengandaikan realitas sejarah sebagai sungai yang mengalir, karya-karya dalam pameran seni multimedia ini menurut Ayos juga mencerminkan bagaimana memori dan ingatan terus mengalir dan memberi konteks baru pada bangunan-bangunan bersejarah.

Dalam mengkurasi seniman dan karya untuk pameran ini Ayos bertemu dengan seniman dari 6 kota yang merespon tema warisan sejarah dengan sudut pandang yang beragam.

“Ada seniman yang merespon kata warisan dengan pendekatan yang sangat personal, ada pula yang eksperimental. Semua karya meluaskan pemahaman kita atas istilah heritage,” ujar Ayos, Jumat (27/11/2020).

Para seniman berangkat dari kegelisahan seperti bagaimana kisah fiksi mampu menggeser pandangan kita tentang identitas, bagaimana seni mendekati memori kolektif sebuah komunitas dan bagaimana bila muncul penolakan generasi saat ini terhadap warisan masa lalu.

Melalui karya-karya seniman inilah, Ayos kemudian mulai memilah dan memilih karya seniman Prancis, Gaëtan Trovato, untuk dicari kemungkinan pembacaan antara keduanya dalam satu ruang pamer.

Misalnya, dalam sebuah ruang pamer, karya Gaëtan dan seniman lokal bisa saling menguatkan. Namun, di kota lain, bisa saja karya kedua seniman bertolak belakang dan memberikan dua perspektif yang sama sekali berlainan.

Untuk itu, Ayos menyiapkan tema kuratorial yang berbeda, bertolak dari refleksi yang ia dapatkan dari karya-karya yang dipamerkan di setiap kota. Di Bandung dipilih tema: Sejarah yang Berlapis, di Kota Surabaya bertajuk Memori yang Cair, di Denpasar dengan tema: memori, Mitologi dan Masa Depan.

Memori yang Cair di Surabaya digelar di galeri House of Sampoerna Surabaya, hadirkan duo Illumi (Ryan Herdiansyah dan Putri Eiash) menampilkan karya bertajuk: The Divine Enigma: Ars Moriendi yang menampilkan metafora kesekaratan pada bangunan-bangunan heritage yang berada di ambang diperlukan atau dilupakan.

Sedangkan Memori, Mitologi, dan Masa Depan yang digelar di Denpasar menampilkan seniman sekaligus arsitek dari Bali, Adhika Annissa atau Ninus, menyajikan bagaimana ingatan diwariskan antargenerasi dalam karya bertajuk Be jak Bulung: Romance du Poisson et des Algues.

Karya ini merespon satu diantara bagian dari koleksi permanen Ruang Karangasem di Museum Bali yang membicarakan dualisme penciptaan dan mitos kesuburan tradisional. Karya Ninus tersebut akan berdampingan dengan video Les Images du Silence (2017) karya Gaëtan Trovato yang menyajikan gambaran atas generasi masa depan dalam proyeksi yang kabur dan fragmentatif.

Sementara itu, kota lain yang juga ikut ambil bagian pada Novembre Numérique adalah Yogjakarta dengan tema Sejarah Ruang dan Komunitas, kemudian Jakarta bertajuk Sejarah Lainnya dan Kota Medan dengan tema: Antara Perjumpaan dan Penolakan.

Seluruh rangkaian pameran menarik sejumlah seniman yang digelar di sejumlah kota besar termasuk Kota Surabaya dalam rangka peringatan 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Prancis ini bisa disaksikan melalui virtual. (tok/ang)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs