Sabtu, 23 November 2024

Perkumpulan Penghuni Tanah Surat Ijo Taruh Harapan Besar kepada MA-Mujiaman

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Mujiaman bersama Perkumpulan Penghuni Tanah Surat Ijo Surabaya (P2TSIS) saat bedah buku "Arek Suroboyo Menggugat: Mengakhiri Praktik Persewaan Tanah Negara di Surabaya." Foto: Istimewa

Perkumpulan Penghuni Tanah Surat Ijo Surabaya (P2TSIS) menggelar bedah buku “Arek Suroboyo Menggugat: Mengakhiri Praktik Persewaan Tanah Negara di Surabaya.” P2TSIS menaruh harapan besar pada Paslon MA-Mujiaman.

Muhammad Farid Ketua Dewan Penasehat P2TSIS dalam acara bedah buku itu mengatakan, di dalam buku yang ditulis Tim P2TSIS dan diterbikan Airlangga University Press itu termuat komitmen Paslon Nomor Urut 2 itu.

Menurutnya, hanya Machfud Arifin yang akan bersama rakyat menuntaskan masalah surat ijo. “Sejak awal, hanya Pak Machfud yang berkomitmen kuat dengan pemilik tanah surat ijo, agar masalah ini segera tuntas,” ujarnya.

Mantan Bupati Lamongan itu menyoroti beredarnya kontrak politik Eri Cahyadi dan Armuji dengan penghuni surat ijo. Menurutnya, selama ini penghuni surat ijo sama sekali tidak pernah melakukan pernjanjian politik dengan Eri-Armuji.

“Ruwet. Isi kontrak itu enggak jelas. Saya juga baru tahu itu. Yang jelas P2TSIS tidak ada kontrak dengan Eri-Armuji,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima suarasurabaya.net, Minggu (22/11/2020).

Farid juga menyesalkan isi dalam kontrak itu. Tanah surat ijo dianggap sebagai barang milik daerah. “Saya enggak tahu, barang milik daerah yang mana mau dihibahkan? Tanah surat ijo itu bukan milik daerah,” tegasnya.

Dia paparkan, pada 1970 silam ada kesepakatan antara wali kota Surabaya dengan Gubernur Jawa Timur. Yang mana, tanah negara partikelir bisa menjadi hak milik. Sayangnya, Wali Kota Surabaya tidak pernah menindaklanjuti.

“SK HPL 1953 ada 11 diktum, dan itu syarat yang harus dicukupi Pemkot Surabaya. Tiga diktum itu cacat hukum, cacat administrasi, dan cacat prosedur, sehingga pemkot tidak memenuhi diktum yang ada,” ungkapnya.

Mujiaman Calon wakil wali kota Surabaya yang hadir dalam bedah buku mengatakan, di dalam buku itu sudah termuat sejarah surat ijo, dasar hukum, dan solusinya. Tinggal kehendak dan kemauan pemimpinnya.

“Machfud-Mujiaman siap berjuang bersama rakyat agar Surat Ijo menjadi SHM (Sertifikat Hak Milik), secara hukum ini bisa dipertanggungjawabkan, secara politik juga bisa dikerjakan,” ujarnya.

Mantan Dirut PDAM Surya Sembada Kota Surabaya itu menegaskan, Machfud Arifin-Mujiaman sebagai Cawali dan Cawawali Surabaya akan berjuang bersama rakyat untuk membuat surat ijo menjadi SHM.

“Langkah pertama retribusi akan dihapus. Berikutnya SHM di depan mata, karena bisa dipertanggungjawabkan secara akademik dan politik,” tukasnya.

Bedah buku itu juga mengungkap praktik Pemkot Surabaya menerapkan dua tagihan sekaligus terhadap tanah surat ijo. Antara lain Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Izin Pemakaian Tanah (IPT).

Dua tagihan ini diberlakukan jauh sebelum ada payung hukum tetap. Dengan demikian, uang beserta bunga retribusi itu tidak jelas juntrungannya. Pemkot Surabaya baru sah dapat hak pengelolaan atas tanah surat ijo setelah keluar keputusan BPN 53 tahun 1997.

“Sebelum keputusan BPN itu turun, Pemkot Surabaya sudah menarik retribusi sejak puluhan tahun. Lalu kemana uang beserta bunganya, kalau nanti berhasil menjadi SHM (sertifikat hak milik), retribusi plus bunga harus dikembalikan,” ujar Prof. Dr. Eko Sagitario.

Prof Eko menjadi salah satu pembedah buku. Dia bilang, surat tagihan retribusi Pemkot Surabaya lebih tepat sebagai surat ancaman. Isi surat itu menyebutkan, bila penghuni tidak membayar sesuai tempo, hak pemakaian tanah dicabut.

“Jadi surat tagihan lebih tepat surat ancaman,” tegasnya.

Prof. Drs. Herry Purno Basuki yang juga membedah buku itu menambahkan, Pemkot Surabaya merasa bila retribusi IPT ditiadakan, hal ini akan berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Padahal, menurutnya, jika wali kotanya kreatif dan inovatif, penghapusan retribusi tanah surat ijo tidak akan berdampak. “Pemimpin itu harus kreatif, apalagi sekarang itu zamannya kreatifitas dan inovasi,” katanya.

Aturan dan uNdang-undang yang selama ini menjadi alasan Pemkot Surabaya sebagai pengganjal pelepasan surat ijo, kata Prof Herry, adalah aturan yang dibuat oleh manusia. Sehingga masih bisa diubah.

“Itu (aturan) yang buat manusia, yang bisa mengubah juga manusia. Apa susahnya?” katanya.(den)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs