Bergelut dengan ikan sudah jadi kawan akrab Eko Samsul sehari-hari sejak kecil. Maklum saja, orang tuanya adalah pemilik usaha budidaya ikan lele dan gurami di Kabupaten Jombang. Eko dan ketiga saudaranya memang tak asing dengan dunia perikanan. Tapi dari keempat bersaudara ini, tidak ada satupun yang bersedia untuk meneruskan usaha orang tua sebagai peternak ikan.
Hingga sekitar 10 bulan lalu, di bulan Februari, Eko terkena imbas pandemi Covid-19 yang masuk ke Indonesia. Eko yang sehari-hari bekerja di money changer di Bandara Juanda merasakan dampaknya. Akses penerbangan terbatas, baik internasional maupun domestik. Otomatis, penghasilan berkurang bahkan tidak ada.
Diakui oleh Eko, masa-masa menjelang puasa dan hari raya jadi titik terendah dalam hidupnya waktu itu.
“Bisa dibilang saya puasa beneran waktu itu. Tidak ada penghasilan. Kondisi lingkungan juga tidak mendukung untuk usaha,” kenang Eko.
Hingga Eko memutuskan untuk kembali ke kampung halaman membawa serta istri dan putra kecilnya untuk membantu orang tua mengelola tambak ikan.
Setibanya di Jombang, Eko mengawali usaha di bisnis olahan lele seperti nugget lele, pentol lele, dan fillet lele. Usaha ini bertahan pun tak bertahan lama.
“Lele ini tak jual sendiri tak pasarkan sendiri di awal bulan Maret. Mungkin karena saya kurang pinter ngolahnya akhirnya gak jalan,” kata Eko.
Saat berada di rumah, Eko prihatin dengan kocek yang cukup dalam yang dirogoh orang tuanya tiap hari untuk membeli pakan ikan. Hampir menyentuh nominal satu juta rupiah tiap hari.
“Duit segitu eman. Apa lagi orang tua sudah sepuh. Dari pada dikasih ke orang lain mending saya cari jalan. Uang segitu juga lumayan,” tuturnya.
Melihat motor matik milik istrinya yang terbengkalai dan tidak terpakai padahal kondisinya masih bagus, terlintas di pikirannya untuk memodifikasinya sebagai motor giling untuk memproduksi pelet makanan ikan. Latar belakangnya yang hobi balap liar saat bujang, menggerakkannya untuk mengotak-atik.
“Pakan ikan mahal, sekarung yang grade A isi 30 kilo Rp 300 ribu. Ada sekitar 15 kolam punya bapak yang dibuat budidaya ikan. Pengeluaran lumayan banyak, sehari habis tiga karung buat makan ikan.
Kebetulan muncul ide, motor istri nganggur, mati ga kerawat. Kepikiran bikin pelet, ada temen yang basic-nya punya pengalaman di pabrik yang membuat pelet,” jelas pria usia 36 tahun ini.
Beberapa hari kemudian Eko bergerilya memulai misi modifikasi. Ia berburu mesin penggiling daging di pasar dan beberapa spare part untuk merubah motor menjadi motor giling. Ia merombak sendiri motornya, dengan bantuan dan masukan dari beberapa teman dan saudaranya. Proses panjang ia lalui selama satu bulan, keluar-masuk bengkel, menguji coba ketahanan dan kekuatan motor sebelum siap dijalankan.
“Kendalanya secara teknis ada beberapa tingkat kesulitan mulai dari transfer tenaga hingga penyempurnaan. Karena waktu itu saya cuma mau ambil mesinnya aja, motornya saya biarkan. Tapi dibantah sama sepupu, ya sudah saya manfaatkan saja sama motornya,” katanya.
Hingga akhirnya MOGI buatannya jadi dan bisa dimanfaatkan. Ia mengaku lega dan bangga atas otak-atiknya. Karena bisa menekan dari sisi biaya hingga 20 kali lipatnya. Kalau membeli mesin, ia bisa mengeluarkan biaya lebih dari Rp 35 juta. Tapi MOGI miliknya hanya menghabiskan biaya modifikasi Rp 1,5 juta saja.
Meski pun kapasitas MOGI tak sehandal mesin pabrikan yang kapasitas per jamnya bisa sampai 500 kilogram, karena MOGI bisa menggiling mentok di angka 50 sampai 100 kilogram, tapi Eko puas karena bisa menekan biaya yang dikeluarkan untuk membeli pakan sampai setengahnya.
Dijalankan sejak bulan Februari hingga sekarang, Eko telah merintis MOGI ini selama 10 bulan. Orang tua yang awalnya menganggap aneh ide nyeleneh Eko mulai melunak.
MOGI buatannya ini adalah yang pertama dibuatnya di kampungnya yang rata-rata berprofesi sebagai peternak ikan. Hal itu pula yang memacu semangatnya untuk mewujudkan mimpi besarnya agar bisa lebih menyederhanakan mesinnya dengan harga yang lebih murah dan mudah dijangkau oleh peternak ikan lain. (dfn/lim)