Jumat, 22 November 2024
Warrior Indonesia Bangkit

Berani Ambil Tantangan Budidaya Jamur Bulan demi Peluang di Masa Pandemi

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Mega Harta Pamungkas, pria 22 tahun asal Bondowoso yang menggeluti budidaya jamur bulan. Foto: Istimewa

Sejak penyebaran Covid-19 di Indonesia pada Maret lalu, banyak masyarakat yang beralih profesi, karena pekerjaan yang terdampak pandemi. Mulai dari petani hingga pekerja pabrik dan karyawan di sektor swasta. Begitu juga dengan sebagian masyarakat Bondowoso yang akhirnya banting setir mencari penghasilan lain karena dampak pandemi.

Mereka beramai-ramai beralih ke budidaya jamur, karena selain mudah tumbuh, biaya budidaya jamur juga cukup terjangkau. Kebanyakan mereka budidaya jamur tiram dan jamur janggel sebab bahan baku yang mudah didapat.

Hal ini menjadi perhatian Mega Harta Pamungkas, pria 22 tahun asal Bondowoso. Sebelum pandemi, ia sudah melakukan budidaya jamur tiram dan janggel. Namun karena membludaknya petani jamur, ia mulai menekuni budidaya Jamur Bulan (Gymnopus sp).

Sebenarnya, ketertarikannya dengan budidaya Jamur Bulan sudah dimulai sejak akhir tahun 2019. Namun ia masih belum benar-benar memahami budidaya jamur bulan sehingga masih fokus menggeluti budidaya jamur tiram dan janggel.

Alasan Mega mengembangkan budidaya Jamur Bulan tak lain karena jamur bulan memiliki rasa yang lebih enak dan belum banyak orang yang membudidayakan jamur ini. Apalagi harga jualnya jauh lebih mahal dibanding jamur tiram dan jamur janggel yang kisaran Rp15-20 ribu per kilogram.

“Biasanya 100 gram itu Rp10 ribu, sekilo bisa sampai Rp100 ribu,” tambahnya.

Hanya saja, terdapat tantangan tersendiri dalam melakukan budidaya Jamur Bulan. Berbeda dengan jamur biasanya, Jamur Bulan membutuhkan rumah rayap agar bisa tumbuh.

“Saya masih ingat pada akhir tahun 2019, saat sedang mencari rumah rayap tapi nihil. Saya pernah diolok ‘kenapa kamu tak kerja sama saja dengan Kominfo? membuat alat untuk menscan tanah dari satelit, agar menemukan rumah rayap’. Jujur saya hanya bisa ketawa juga,” ujarnya.

Namun, olokan itu tidak menyurutkan semangatnya. Ia setiap hari bekerja di Pusat Informasi Megalitik Bondowoso. Pada hari normal, biasanya ada kunjungan dari siswa-siswi sekolah untuk belajar bagaimana tinggalan dan tradisi megalitik Indonesia yang terdapat di Bondowoso. Namun sejak pandemi, kunjungan oleh siswa sekolah juga ditiadakan.

“Dari sini waktu saya terasa kosong kemudian memulai mengisi dengan mencari cara menumbuhkan jamur Bulan dan mulai fokus untuk bertani Jamur janggel maupun tiram,” ujarnya.

Namun dari memahami tradisi megalitik, ia mulai mengenal bagaimana orang-orang pada zaman dahulu melakukan hal yang ramah lingkungan dan efektif. Juga tentang bagaimana merawat lingkungan dengan baik berkelanjutan.

Hingga pada suatu hari, Mega akhirnya mendapatkan sekarung rumah rayap setelah menyadari hal-hal yang menjadi indikasi keberadaan rumah rayap. Namun lama kelamaan, ia menyadari bahan baku rumah rayap yang sebelumnya melimpah menjadi hampir habis.

“Saya mencoba untuk menyimpannya tetapi saya tidak sadar kalau semakin lama rumah rayap dibiarkan akan berubah menjadi tanah yang berakibat pada habisnya ketersediaan rumah rayap,” kata Mega.

Disaat yang bersamaan, harga jamur terus merosot akibat dari semakin banyaknya masyarakat yang bertani jamur. Harga jamur tiram yang awalnya seharga Rp15 ribu merosot hingga Rp9 ribu.

“Pemasaran jamur pun kacau. Petani jamur semakin banyak tetapi jumlah konsumen cenderung tetap ditambah lagi di masa pandemi daya beli berkurang. Alhasil, petani yang lebih dahulu bertani jamur dengan memiliki jumlah konsumen tetap menjadi berkurang. Akhirnya hasil panen banyak yang dibuang atau tidak laku,” tambahnya.

Hal itu membuat Mega lebih memilih menurunkan jumlah produksi jamur janggel, sampai hanya cukup untuk konsumsi pribadi saja. Hari berikutnya, ia masih terus mencari rumah rayap untuk budidaya jamur bulan namun belum juga berhasil.

Esoknya, ia lebih teliti lagi. Saat Mega mengunakan metode pembuatan bibit F1 untuk jamur tiram yang diadaptasi untuk jamur bulan, ia menyadari bahwa tidak semua rumah rayap dapat menumbuhkan jamur bulan. Ada ciri-ciri khusus yang kentara.

Hingga akhirnya ia masih mengembangkan cara untuk membudidayakan rumah rayap dengan membuat kumbung khusus untuk rayap berkembang. Nantinya, rumah itu diambil untuk menumbuhkan miselium. Selain agar tidak susah-susah lagi untuk mencari rumah rayap, juga agar lebih efisien.

“Saya juga menyadari, mengambil rumah rayap di alam juga merupakan tindakan yang merusak jika dilakukan dalam skala yang besar dan berlanjut, karena berakibat pada ekosistem,” tambah Mega.

Ke depan, ia ingin lebih mengembangkan budidaya jamur bulan dengan skala yang besar. Ia juga ingin membagikan cara budidaya jamur bulan agar lebih banyak dikenal masyarakat sebagai alternatif usaha di masa pandemi ini.

“Bulan lalu saya mendapatkan bantuan dari Apresiasi Pelaku Budaya terdampak Covid-19, saya pergunakan itu juga untuk tambahan dalam menumbuhkan jamur-jamur ini lebih lanjut dan membuatnya lebih efisien. Semoga bertani jamur ini semakin berkembang. Dan dapat menumbuhkan Jamur Bulan dengan skala besar,” harapnya.(tin/lim)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs