Sabtu, 23 November 2024
Warrior Indonesia Bangkit

Yakin Ada Jalan, Asal Percaya pada Tuhan dan Lakukan Cara yang Benar

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Irene Listiani (38 tahun), bisnis infused water dan teh alami bernama Lab.Rasa. Foto: Istimewa

Sebagai seseorang yang pernah merasakan keterpurukan di tengah pandemi Covid-19, Irene Listiani (38 tahun) mengaku tidak mudah untuk kembali bangkit. Tidak hanya pekerjaan yang hilang, Irene yang saat ini berstatus sebagai penyintas Covid-19, juga harus berjuang karena dinyatakan positif Covid-19 di masa-masa tersulitnya.

Namun siapa kira, semangatnya untuk bangkit dan menggeluti bisnis infused water dan teh alami bernama Lab.Rasa. Termotivasi kisah pemenang Keluarga Bangkit, program yang digagas Suara Surabaya Media beberapa waktu lalu. Dari kisah-kisah mereka, Irena kemudian berkeyakinan ia harus memiliki semangat melanjutkan hidup seperti para peserta dalam program tersebut.

“Saya terinspirasi dari Suara Surabaya, yang Keluarga Bangkit itu menginspirasi saya bangkit. Saya saat itu juga mengirim cuma belum lolos. Dari situ menginspirasi saya. Oke, saya nggak boleh menyerah. Saya harus bangkit dari keterpurukan ini. Dari Keluarga Bangkit itu lah,” kata Irene kepada suarasurabaya.net, Kamis (19/11/2020).

Sebelum berbisnis Lab.Rasa, Irene mengalami ‘jungkir balik’ dalam menjalankan usaha. Pada tahun 2016, ia mulai dengan berbisnis makanan katering. Dua tahun setelahnya, ia melanjutkan bisnis sosis bakar karena dirasa bisnis keteringnya berbenturan dengan jadwal ia bekerja sebagai pengajar.

Namun, usaha yang ia bangun ternyata tidak sesuai harapan. Belum lagi, ia harus merugi puluhan juta akibat bermasalah dengan partner bisnisnya. Dengan berat hati, ia terpaksa menutup usahanya pada November 2019.

“Proses yang tidak mudah untuk saya jalani, saya harus menerima kenyataan untuk menarik mundur semua barang dan kehilangan bisnis serta uang. Itu semua terjadi sekira bulan November 2019,” tambahnya.

Sejak tidak lagi berjualan, ia hanya mengandalkan pendapatan sebagai guru les biologi dan pengajar ekstrakulikuler Karya Ilmiah di salah satu SMA swasta. Hingga pandemi pun tiba dan merenggut pekerjaan satu-satunya.

Sejak diberlakukan sistem sekolah daring, menjadi guru kursus pun sepi siswa. Kegiatan ektrakulikuler juga ditiadakan, karena sekolah melarang pertemuan tatap muka. Saat itu, ia mulai merasa kesulitan dalam ikut menopang pendapatan keluarga.

“Sekolah tutup, saya gak ada pekerjaan tambahan lain. Belum lagi bayar cicilan, gaji suami hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari. Untuk lebih dari itu tidak bisa,” ujarnya.

Musibah kian mendera tatkala suami Irene jatuh sakit pada Mei lalu. Selama sakit, sang suami menjalankan karantina mandiri karena hasil rapid test yang ia lakukan menunjukkan hasil reaktif. Sejak saat itu, mereka mengisolasi diri di rumah dan anak-anak mereka titipkan ke rumah orang tua dan mertua.

Dan ketika mereka berdua melakukan tes usap, betapa terkejutnya Irene mendapati dirinya lah yang dinyatakan positif Covid-19. Selain beban mental harus jauh dari anak-anak, Irene merasa beban finansial semakin bertambah karena harus mengisolasi diri di rumah.

“Karena harus karantina mandiri akhirnya kita harus menjaga banget. Saya harus menghidupi tiga dapur karena anak-anak ke rumah mertua. Tambah nggak karu-karuan,” tambahnya.

Sejak itu, ia juga berusaha untuk menjadi reseller makanan untuk menambah pendapatan secara daring. Sebagai reseller, makanan yang ia jual langsung dikirimkan ke konsumen tanpa ia menerima makanan tersebut.

Meski begitu, masih banyak orang yang tidak percaya dan enggan untuk membeli makanan yang ditawarkan Irene.

“Saya jualan online juga, terima makanan dari orang saya lempar lagi. Sempat pas saya diketahui positif (Covid), sanksi sosial yang saya terima terasa berat sekali. ‘Ini kan makanan dari Bu Irene’. Padahal barangnya saja saya nggak nerima. Itu benar-benar seperti dikucilkan,” imbuhnya.

Untuk menjaga jarak dari keluarga, ia menyewa kamar kos selama karantina mandiri. Ia memikirkan bisnis apa kiranya yang bisa menopang pendapatan keluarga yang saat sesulit ini.

Hingga suatu hari, tercetus untuk membuat minuman alami berupa infused water dan teh, yang terbuat dari bahan-bahan tradisional alami dan buah segar.

Infused water dan teh berbahan tradisional dan buah alami, dengan label Lab.Rasa. Foto: Istimewa

“Musim corona orang-orang cari minuman sehat, alami. Jahe bagus, jeruk lemon. Dari situlah terpikir membuat infused water dan teh, kolaborasi. Bukan teh biasa, ada sereh, jahe, lemon. Saya mencoba membuat itu. Komposisi teh honey lime, madu sama lemon saya kasih teh. Kayak kayu manis, saya kasih jahe, dari situ saya mencoba bikin-bikin,” cerita Irene.

Ia yang sebelumnya berkecimpung di dunia karya ilmiah, akhirnya mendorong sang suami memberikan ide untuk membuat konsep bisnis seperti laboratorium. Salah satunya dengan nama singkatan varian seperti rumus-rumus kimia, seperti GLg (Ginger+Lemongrass), L2G (Lime+Lemongrass), HoLi (Honey+Lime) dan sebagainya.

Sementara ini, hanya menjual berdasarkan pesanan jalur daring, sistem pre order. Sejak awal, Irene mengaku penjualan minumannya lumayan. Apalagi, dengan bahan-bahan alami tanpa pengawet seharga Rp5000 per botol, semua varian.

“Sudah dua bulan ini, penjualan step by step. Promosi dari mulut ke mulut. Sekali pesanan ada yang sampai 65-70 botol di satu tempat,” ujarnya.

Ke depan, ia berharap agar bisnisnya semakin berkembang dengan menjualnya secara offline. Irene saat ini juga sedang mengurus perizinan untuk Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Produk Industri Rumah Tangga (PIRT).

“Sebuah proses yang tidak mudah untuk di jalani, tapi saya percaya tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya. Asal kita mau melangkah dengan cara dan jalan yang benar, saya percaya Tuhan pasti buka jalan,” kata Irene yakin.(tin/lim)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs