Dalam benak Dian Febrianti dan suaminya kehidupan nyaman dan mudah yang dijalani selama ini, kemudian menjadi sulit saat pandemi tidak pernah terbayangkan. Perusahaan tempat suaminya, Muslim Imam Santoso, bekerja sebagai supervisor di perusahaan konstruksi mengalami sepi order sejak pagebluk menggepuk, yang berimbas pada gaji.
Proyek-proyek besar yang ditangani kontraktor tempat suaminya bekerja dibatalkan. Tak lama, karyawan-karyawan diliburkan untuk waktu yang belum pasti sampai kapan, termasuk Imam, suaminya.
“Akhirnya, dengan niatan semangat kemandirian pada Mei 2020, suami memutuskan untuk mengundurkan diri,” kata Dian kepada suarasurabaya.net, Rabu (18/11/2020).
Pencairan BPJS senilai Rp10 juta hanya cukup untuk hidup selama dua bulan, karena selain untuk biaya hidup sehari-hari, Dian juga punya tanggungan cicilan yang harus dilunasi.
Hingga pada bulan Juni 2020, Dian iseng-iseng membuka market place yang berjualan rak bumbu dan menunjukkannya kepada suaminya. Dengan percaya diri Imam berseloroh ia bisa membuat rak bumbu seperti yang ada di market place tersebut dengan mudah.
Dua hari kemudian, Imam yang sedang menerima order pesanan konstruksi, menyempatkan membuat prototype rak bumbu yang sedang menjadi tren setahun belakangan tersebut.
“Saat kami tawarkan kepada beberapa teman dan tetangga via WhatsApp status, FB sama Instagram, respon tetangga sangat antusias. Gayung bersambut, di bulan Juni kami mendapat pesanan sebanyak kurang lebih 50 biji rak bawang. Berlanjut di bulan Juli 2020, naik menjadi 100 pesanan lebih,” kata Dian.
Menurut Dian, yang membuat rak bumbu buatannya menarik adalah karena masih jarang yang menjualnya di pasaran. Penyatuan antara unsur tradisional dan modern membuat produknya unik. Dian mengaku, meski harganya tergolong murah, tapi ia tidak sembarangan dalam memilih bahan.
“Ada yang serupa di luar kota, lebih ribet dan mahal di ongkir. Produkku ini lebih kuat dan lebih kokoh karena kita memilih bahan tidak sembarangan,” ungkapnya.
Agustus 2020, usaha Dian dan suami yang diberi nama Aulia Art Shop, yang terinspirasi dari nama anak perempuannya, mulai merambah membuat kerajinan tangan lainnya seperti rak bunga, rak baju, dan rak handuk. Beruntungnya Dian, tiap kali produknya dilempar ke pasar, responnya positif.
Tapi keberuntungan ini bukan tanpa usaha dan jerih payah yang besar serta kesabaran yang berlimpah. Pernah pada suatu hari Dian dan suami hidup mengandalkan uang tak lebih dari Rp 10 ribu.
“Suami pegang Rp 2ribu saya pegang Rp 4ribu. Nyari makan di kantin kantor gak ada yang harga segitu. Akhirnya saya hanya bisa makan gorengan dan kentang di depan laptop sambil nangis. Tapi Alhamdulillah saya masih kerja, masih pegang uang itu Alhamdulillah. Allah Maha Kaya, Allah Maha Baik. Saya yakin itu,” ucap Dian dengan nafas sedikit tertahan di ujung telepon sana.
Dian mengibaratkan masa-masa yang dialaminya dalam memulai usaha di tengah pandemi serasa jungkir balik. Bagaimana tidak, selain modal yang tidak seberapa yang digunakan untuk membeli bahan baku, Dian harus membayar sewa bengkel, membayar biaya listrik dan membayar upah karyawannya yang saat ini berjumlah lima orang.
“Sedikit perhiasan dan tabungan kami, 100 persen terserap ke dalam kebutuhan usaha. Sampai-sampai kami makan seadanya demi untuk membeli material dan menyelesaikan pesanan sebaik mungkin,” kenang ibu satu orang anak ini.
Semangat pasutri ini tidak berhenti sebatas memasarkan produknya secara daring, melainkan secara Car Free Day di Masjid Al-Akbar, Surabaya. Respon pembeli diakui Dian sangat antusias karena untuk mendapatkan barang seperti yang dibuat Dian cukup sulit dan harganya pun selangit. Sedangkan produk Aulia Art Shop cukup terjangkau.
“Susun 2, kami hitung masih di harga Rp 85ribu. Susun 3 di harga Rp 105.000 dan rak susun 4 di harga Rp 125.000,” katanya.
Kerja keras Dian dan Imam tidak mengenal kata libur. Walaupun sampai saat ini usahanya dikatakan belum laba, keduanya tetap semangat dalam menjemput rezeki.
“Kami tidur jam 2 malam, bangun jam 4. Terus jualan di Masjid Agung, kadang kita subuhan di sana. Kalau sudah siang, suami ke bengkel lagi, saya ngider nganter barang keliling Surabaya. Gak pernah libur. Uang jualan di hari Minggu diputar lagi buat modal minggu berikutnya. Gitu terus,” tuturnya.
Kualitas produk yang terus dijaga, membuat pelangganya percaya dan pesanan berdatangan dari luar Surabaya bahkan luar Pulau Jawa. Bahkan Dian tak ragu untuk memberikan garansi barang diganti apabila terdapat kerusakan.
“Saya pernah kirim paket ke Jakarta rak bumbu 50 biji. Waktu sampai sana yang rusak 5. Langsung saya ganti. Dari situ saya belajar packaging dan delivery yang safe. Karena saya juga ada garansi barang rusak langsung diganti,” kenangnya.
Mimpi besar Dian yang ingin dia capai adalah punya art shop seperti Mirota Jogja dan agar usahanya bisa merambah pasar luar negeri. Berkawan dengan komunitas pengusaha, Dian memperoleh tidak hanya masukan melainkan juga jaringan, yang bisa ia gunakan sebagai bekal mengembangkan usaha.
“Kami yakin Tuhan Maha Kaya dan akan membantu HambaNya yang mau terus berusaha dan berdoa. Rejeki tidak akan tertukar meskipun saat ini sudah semakin banyak pesaing kami. Semangat hidup kami adalah bagaimana mengajak masyarakat Indonesia agar tetap produktif, kreatif, inovatif dan pantang menyerah terhadap persoalan hidup,” tutupnya. (dfn/lim)